EVERY
DAY WRITING 08 (12 AGUSTUS 2013)
Nenek
ooh Kakek
Hari ini merupakan puasa terakhir di
bulan Ramadhan 1434 Hijriah, semua orang berbenah membereskan apapun yang
mereka punya. Seperti Dita membereskan kerajaannya, dan Mama membenahi dapur
dan seisi rumah. Karina dan Andi juga ikutan berdiam diri di dalam kamar
masing-masing, mengumpulkan barang-barang yang tidak dipakai lagi, lalu
memasukkannya dalam satu dos besar. Kalau Papa memilih untuk menyibukkan diri
di gudang, membuang barang-barang bekas, mengeluarkan tumpukan Koran, serta mengisi
gudang dengan barang-barang bekas baru.
Rencananya nenek dan kakek datang siang
ini, mereka akan dijemput di bandara oleh Om Dani, dan selanjutnya dibawah ke
rumah. Nenek memang lebih memilih tinggal di rumah Papa, ini lantaran hanya
Papa satu-satunya anak hasil pernikahannya dengan Kakek yang memiliki anak
perempuan. Dari tiga orang anaknya nenek, mulai dari Papa, Om Dani, dan Om
Guntoro, hanya Papa yang berhasil menelurkan gen Perempuan, yakni Dita dan
Karina. Sedangkan Om Dani dan Om Guntoro
semua anaknya laki-laki, Om Dani memiliki 4 jagoan, dan Om Gun jauh lebih
minimalis hanya memiliki 2 orang hero.
Semuanya semakin panik, saat Masjid
dekat rumah mengumandangkan adzan dzuhur. Itu artinya nenek sebentar lagi
sampai di rumah. Hanya Papa yang sudah bisa sedikit bernafas lega, karena
kelelahan, Papa memilih duduk di ruang TV sambil menonton FTV di salah satu
stasiun TV yang terkenal dengan Film-film televisinya.
“PRAaaNNKKKkkk” suara piring jatuh,
memecah sunyi dan membuyarkan konsentrasi para penghuni rumah dalam melakukan
aktivitasnya siang ini.
“Mama…Mama tidak apa-apakan?” Teriak
Papa dari ruang Nonton.
“Ga apa-apa koq Pa, Mama baik-baik
saja. Mestinya Papa nanyain apa kabar piringnya?” jawab Mama sewot.
“Aahhhh koq gitu,” akhirnya Papa
memutuskan untuk menengok Mama di dapur.
“Astaga Mama, kenapa bisa?”
“Mama juga ga tahu Pa. Tahu-tahu
piring yang Mama bawa terlepas gitu aja,”
“Mama sakit ya?”
“Tidak, Mama sehat wal afiat koq, Pa”
“Trus koq bisa jatuhin piring?”
“Piringnya lagi nyoba-nyoba terjun
bebas kayaknya Pa,” Mama memasang muka serius
“Ya sudah, dibereskan saja Ma. Hati-hati
pecahannya,” Papa berlalu tanpa mau memperpanjang masalah piring jatuh.
Dita yang baru saja turun dari
kamar, sempat berpapasan dengan Papa di ruang Makan. Papa hanya memberi isyarat
dengan menaikkan bahunya. Dita hanya tersenyum.
“Kenapa Ma?”
“Eh..Ta, hati-hati kalau turun ke
sini ya, belingnya masih berserakan tuh,”
“Memangnya piring apa yang jatuh Ma?”
“Piring Makan,”
“Kali ini berapa?”
“Lumayan Ta, sepertinya kita harus
ke toko pecah belah beli piring baru,”
“Aaahhh separah itu ya, Ma?”
“Iya, semua piring makan kita pecah
Ta. Tidak ada yang tersisa. Cuma ada piring buat arisan Mama,”
“Aahhhhh… Oh My God,”
“Ga masuk ke dalam got koq Ta, ini
lho piring-piringnya” Mama sambil menunjuk semua piring yang pecah.
“Ampun deh, Ma”
“Lha, Mama lagi ga hukum kamu koq. Malah
minta ampun. Anak-anak sekarang unik-unik ya. Trus ini gimana Ta?”
“Memangnya mau diapakan Ma?”
“Adduuhh, anak Mama koq malah nanya
sih. Ini piring-piringnya mau diapakan?”
“Ya dikumpulin Ma, trus dibuang. Kan
tidak mungkin disumbangin ke rumah orang Ma,”
“Hehehe..iya ya, kamu koq pinter.”
“Jadi, dari tadi Mama Cuma ngeliatin
piringnya, memang piringnya mau diapakan?”
“Iya.. memangnya kamu mikir Mama ga
sedang menyusun rencana apa?”
“Ahhhh rencana?”
“Iya, tadinya Mama mau nyuruh kamu
ke swalayan depan kompleks buat beli lem, terus bantuin Mama deh ngelemi
piring. Pasti seru Ta, mirip main puzzle,”
“Aaahhhhh”
“Koq Aaahhhh, sudah ayo sini. Bantuin
Mama ngumpulin piringnya,”
“Iya Ma.” Dita pasrah dan nurut apa
yang dibilang sama Mama, ketimbang di suruh ngelem mending ngumpulin dan buang
pecahan piringnya.
“Mama…main puzzle apa sama kak Dita?”
Karin tiba-tiba sudah ada di depan pintu dapur.
“Puzzle pala Lo dek. Ayo bantu kakak
juga,” Karin juga ikutan membereskan pecahan piring. Lagi seru-serunya
membereskan, terdengar mobil berhenti dan pintu pagar di buka. Seketika gerakan
pembersihan dapur seperti di percepat.
“Itu pasti Nenek,” seru Karin.
Semuanya Panik, tetapi tidak sampai
2 menit, semua pecahan piring seperti disulap. Lantai dapur kini kinclong bak
kaca. Semua pecahan kaca dimasukkan ke dalam kantong plastik hitam yang sengaja
di double pakai kantongan dari salah
satu Mall, bekas baju lebaran kemarin.
“Koq di double Ma?” Dita keheranan melihat pecahan piring di bungkus untuk
kali kedua.
“Biar Nenek ga lihat. Kayak ga tahu
saja Nenek, Ta”
“Ohhh.. gitu ya”
“Assalamu Alaikum,” teriak Nenek
dari teras rumah.
“Wa alaikum salam,”
“Nenek… Kakek,” Sapa Andi sambil
mencium tangan dan memeluk Nenek dan Kakeknya dengan perasaan Rindu yang
mendalam.
“Aduh..cucu kesayangan Nenek, sudah
besar sekali ya?”
“Iya dong Nek, masa Andi ga
besar-besar. Setiap hari-kan Andi dikasih Makan sama Mama dan Papa,”
“Oh iya ya, Nenek lupa,” jawab Nenek
sambil mengelus kedua Pipi Andi.
“Papa kamu mana?” Tanya Kakek ke
Andi
“Tuh Kek, kan Papa lagi angkatin
barang-barang dari mobil bareng om Dani,”
“Oh.. kirain pembantu baru rumah
ini. Lagian sesiang ini koq masih lecek gitu. Belum Mandi ya?”
“Bapak bisa saja?”
“Lha, Bapak itu tahu kamu sejak
kecil toh Ro. Kebiasaan kamu yang suka ga mandi kalau libur. Tebakan Bapak
benar toh?”
“Sudah Mandi Pak, ini kotor karena
habis bersihin gudang belakang,”
“Ooohh kirain belum mandi. Elena
istri kamu mana? Cucu kakek yang perempuan juga mana?”
“Mama….Karina…Dita.. Kakek dan Nenek
sudah datang tuh,”
Mama yang diikuti oleh karina dari
belakang, melangkah ke teras menemui Kakek dan Nenek. Dita memilih ke kamarnya,
membereskan barang-barang yang masih diletakkan begitu saja di lantai kamar.
“Eh Mantu Ibu tambah cantik saja,”
“Kalau cucu Nenek gimana?”
“Pastinya cantik dong, siapa dulu
Neneknya?”
“Memangnya siapa Bu, Neneknya Karin?”
Ucap Mama bingung
“Ya ampun Elena, kamu tidak berubah
sama sekali ya,”
“Berubah? Elena jadi bingung Bu,”
“Ya sudah, kalau bingung ayo kita
masuk saja. Ibu mau ganti baju. Ibu tidur di kamar Dita-kan?”
“Aahhh, gitu ya Bu.”
“Lho, gimana sih? Ibu sudah kabari
Baskoro tentang hal itu”
Mama melihat Papa dengan tatapan
bingung. Seakan bertanya, “Trus Dita tidur dimana?”. Karina yang bisa membaca
situasi, seketika menenangkan Mama.
“Kak Dita, biar tidur bareng Karin
saja Ma,”
“Syukurlah”
Dita yang selesai membereskan semua
barangnya, kini memilih mengambil buku dan berbaring di ranjangnya. Pintu di
buka oleh Nenek, membuat Dita terduduk paksa di pinggir tempat tidur. Ada Kakek,
dan Mama dibelakangnya. Mama memberi isyarat, untuk Dita tidur saja sama Karin.
Nenek yang masuk kamar langsung ke kamar Mandi, Kakek membuka pintu dan
langsung ke beranda kamar. Dita akhirnya harus rela berpisah dengan kerajaannya
untuk beberapa hari.
“Bapak, kalau mau sarung sudah Elena
letakkan di atas tempat tidur Dita ya,” Kakek hanya membalas dengan senyum.
“Kamar ini, ga da yang berubah ya? Masih
seperti dulu. Nenek kangen jadinya,” mata Nenek berkaca-kaca. Mama jadi tidak
tahu harus melakukan apa.
“Tidak ada yang berubah koq Bu, wong
Dita selalu merawat kamarnya setiap hari, meski kadang ELen sih Bu yang
bersihin. Dita masih suka males soalnya, apalagi kalau dia sudah menulis. Buku-buku
keluar dari tempatnya,”
Nenek yang dengar malah tambah
menangis, Kakek yang dengar suara Nenek menangis akhirnya mengintip dari
beranda.
“Ibu Kenapa? Elena Ibu kenapa?”
“Elena juga bingung Pak, perasaan
tidak ada cerita sedih yang Elen bilang deh tadi,”
“Mungkin Ibu Cuma capek saja. Ibu
ganti baju dulu, lalu istirahat,”
Mama turun dari kamar Dita dengan
perasaan bersalah, tapi bingung juga bersalah karena apa. Dita yang disuruh
turun, akhirnya masuk ke kamar Karin.
“Kakak numpang tidur disini ya, Dek”
tanpa menunggu jawaban Karin, Dita sudah mengambil posisi tidur di ranjang.
Karin hanya bisa tersenyum.
“Pa, Ibu kenapa sih?”
“Memangnya kenapa?”
“Tadi, Ibu nangis-nangis di kamar
Dita. Mama jadi ikutan sedih sih, tapi bingung juga Mama harus sedih karena
apa? Seperti ada sesuatu yang telah lama ditahan, sudah mau tumpah. Tapi apa
yang harus ditangisi?”
Papa memeluk Mama penuh kasih sayang.
“Tahukan, Ibu orangnya memang suka begitu sejak dua tahun lalu. Mama kayak lupa
Ibu deh,”
“Gitu ya, Pa? Tapi…”
“Sudah. Jangan ikutan melankolis
dong,”
“Papa gimana sih?” ucap Mama sambil
mencubit perut Papa.
“Aduuhhh, sakit Ma. Gimana apanya?”
“Mamakan sukanya semangka bukan
Melon,”
“Hahahaha… iya ya, Papa Lupa. Maaf
Ma,”
Nenek masih sedih, dan memilih untuk
tidur. Hampir magrib baru keduanya turun dari kamar. Meja makan sudah ditata
dengan segala menu berbuka. Om Dani, memutuskan berbuka puasa di rumah,
ketimbang harus balik ke rumahnya. Apalagi, hari terakhir puasa begini biasanya
jalanan dipadati oleh semua jenis kendaraan.
“Ditaaa… Ta, temanin Mama dong di
dapur.”
“Iya Ma, tunggu bentar. Dita pakai
baju dulu. Mama kan tahu Dita baru selesai Mandi,”
“Ohh iya ya,”
Dita keluar dari kamar Karina,
menuju dapur. Mama keluar membawa ta’jil ke meja makan.
“Dita, salaman tuh dengan Nenek dan
Kakek,”
“Iya Ma, lupa tadi”
Belum Dita bersalaman, Nenek malah menangis
lagi, kini lebih parah karena Kakek ikutan menangis. Mama dan Dita saling
bertukar pandang tanda tidak mengerti apa yang terjadi. Om Dani yang baru saja
masuk dari teras samping, ikutan bingung lihat Kedua orang tuanya menangis Bombay.
“Lho..Ibu, Bapak. Kenapa?”
“Tidak tahu tuh Om, Dita baru saja
mau salaman, tapi Nenek dan Kakek nangis,” Om Dani terkejut ternyata ada Dita
di dekatnya.
“Waalllahhh, Om ngerti sekarang. Tapi,
ngomong-ngomong Dita sudah besar banget ya? Tambah cantik”
“Om…Om telat banget sadarnya, heran
deh”
Om Dani gemes dan mengacak-ngacak
rambut Dita.
“Aduuhh, jangan dibongkar dong Om. Nanti
kecantikan Dita berkurang. Ngomong-ngomong Nenek dan Kakek kenapa?”
“Biasa mereka terkagum-kagum dengan
kecantikan kamu,” ucap Om Dani sambil mencubit pipi keponakan perempuan
tertuanya.
“Nenek oohhh Kakek, udahan dong nangisnya. Dita memang cantik dari
sono-nya. Jadi Nenek dan Kakek tidak harus nangis-nangis gitu,” Mama dan Om
Dani tampak mual mendengar perkataan Dita. Sedangkan Kakek dan Nenek kini malah
berpelukan kayak teletabis, dan masih pakai acara menangis Bombay. Dita hanya
bisa bengong, dan berpikir, mungkin apa yang dia bilang tadi terlalu
berlebihan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar