Kamis, 20 November 2014

#NBS_Pertemuan III _Ribka, Impiannya Menjadi Artis



            Tidak terasa perjalanan kami selaku pejuang aksara (Relawan NBS) sudah masuk ke pertemuan ketiga. Pertemuan yang mengharuskan setiap siswa untuk menuliskan kisah terkait masakan ibu mereka.
Pejuang Aksara "Vivi" yang bertindak sebagai Pengajar Utama
            Setiap anak terlihat antusias, mengambil kertas dan buku diary yang dibagikan sejak pertemuan pertama. Mulai merangkai kata dan membayangkan masakan ibu mereka yang pastinya lezat dan mereka sukai.
Siswi Kelas 4 A Sedang Menulis Kisah "Masakan Ibuku"
            Ekspresi inilah yang setiap pertemuan selalu ku tunggu, ekspresi yang penuh keceriaan dan tidak ada kata mengeluh ketika menerima tugas dari pejuang aksara yang tiap minggunya bertindak sebagai pengajar utama.
            Selain, Muhammad Ramadhani, ada sosok lainnya yang cukup membuatku penasaran. Hmmm lebih tepatnya gadis yang sedikit cubby dan menggemaskan yang selalu menarik perhatianku. Baru pertemuan ketiga ini, namanya ku simpan baik-baik dalam memori otakku. Ia menyebutkan namanya dengan sedikit cadel, ketika kutanya selepas pertemuan ketiga,
“Ribka,” jawabnya singkat. Entah siapa nama lengkapnya, yang jelas anak ini memang terlihat lebih bercahaya dibandingkan yang lainnya.
            Di kala kebanyakan temannya mengenakan jilbab, Ia memilih untuk mengikat rambut ikalnya dengan cara dikuncir. Tubuhnya yang tambun tidak menyurutkan keinginan atau impiannya yang cukup membuatku tersenyum tak percaya. Ia bercita-cita ingin menjadi artis.
            Benar saja, setelah pertemuan NBS perdana, Fani seorang pejuang aksara melihat anak ini sedang mengikuti seleksi penyanyi cilik di salah satu Mall ternama di Kota Makassar. Cukup mengangumkan pikirku. Ketika, kebanyakan anak-anak hanya ingin menjadi dokter, ataupun insinyur. Ia sudah dapat memutuskan dengan pasti bahwa tujuan langkahnya nanti adalah menjadi public figure.
Keceriaan Usai Pertemuan Ketiga Di Depan Sekolah
            Namanya sempat disebut sebagai salah satu anak yang harus membacakan kisahnya terkait masakan ibu di depan kelas. Ia naik dengan pasti, tak menghiraukan riuhnya teman-teman yang lainnya, Ia tetap membaca. Sesekali Ia hanya memandang ke arah sahabatnya yang duduk di deretan bangku paling depan, sedikit memberikan senyuman layaknya seseorang yang sedang membaca pidato kenegaraan yang penting untuk disimak.  
Ribka Sedang Membacakan Kisahnya Terkait "Masakan Ibuku"
Beberapa Anak Yang Sedang Membacakan Tulisannya Di Depan Kelas
            Diriku hanya memandangnya diantara tumpukan buku diary dan kertas yang harus kubaca dan beri sedikit koreksi. Hatiku sedikit lega, karena saya yakin bahwa program NBS ini akan membawa pengaruh positif ke semua siswa yang ada di kelas 4 A SD Negeri Paccinang ini. Meski hingga saat ini, hanya beberapa nama yang sempat singgah diingatanku.
Diriku Bersama Pejuang Aksara "Icha" Sedang Memeriksa Tulisan Siswa-Siswi Kelas 4 A
            Teringat kisah tentangku ketika duduk di bangku kelas 4 SD, tak banyak cerita yang bisa ku tulis layaknya anak-anak di kelas ini. Ini lantaran, keterbatasanku dalam menguasai aksara masih sangat jauh dari mereka.
            Sedikit memberi kejujuran tentang kisah hidupku, saya adalah salah satu anak yang terlahir dengan keterbatasan. Keterbatasan itu biasa disebut dengan “Diseleksia.” Keterbatasan yang membuat kemampuan mengkordinasikan otak dan ucapanku ketika membaca sangat lambat. Bukan itu saja, ada sejumlah huruf kerap kali susah kubedakan. Itulah sebabnya, dulu kegiatan menulis dan membaca adalah dua hal yang sangat ku benci. Apalagi, ketika ada kegiatan membaca berantai di pelajaran Bahasa Indonesia.
            Namun, itu dulu ketika saya menganggap bahwa keterbatasan itu adalah kekurangan yang harus kupeluk erat dan menjauh dari dunia. Namun, tidak banyak yang tahu bahwa hadirnya seorang ibu yang sabar dalam kehidupanku, menumbuhkan 1001 harapan terkait dunia aksara. Apalagi, jika Ia membujukku dengan menu-menu masakannya yang luar biasa. Pertemuan ketiga ini, membuatku menemukan serpihan diriku yang kecil diantara senyum para siswa.
            Tidak pernah ada kata “seandainya” dalam hidupku. Karena, semuanya sudah kulalui dengan sukses. Semua yang kubenci, kini berbalik menjadi sesuatu yang mendatangkan rejeki dalam kehidupanku. Berharap, anak-anak di kelas 4 A ini, juga mendapatkan titik balik untuk mengambil jalan sukses dalam kehidupan mereka.
Membingkai Keceriaan Antara Pejuang Aksara dan Siswa-Siswi SDN Paccinang
            Meminjam kata-kata Pramoedya Ananta Toer seorang Novelis ternama Indonesia. Ia mengatakan bahwa, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama Ia tidak menulis, Ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
            Pertemuan NBS part II ini, tinggal 9 pertemuan lagi. Kami, para pejuang aksara akan melakukan yang terbaik, agar para generasi bangsa ini, lebih mencintai dunia aksara. Tanggung jawab moril yang seharusnya diemban oleh semua orang, ketika menginginkan sebuah perubahan pada sistem pendidikan di negeri ini. Dan, kami memilih menjadi orang-orang yang berada di garda depan untuk mewujudkannya.  


#NBS_Pertemuan II_ Indonesia Hanya Membutuhkan Senyum Mereka


           Terlalu banyak orang merasa sistem pendidikan di Indonesia, berjalan di rel yang tidak semestinya. Tetapi, jika ditanya seperti apa sistem pendidikan yang mereka dambakan? Jawabannya belum bisa terdengar sama, masih beragam. Sama ketika sistem ini belum terjamah oleh tangan-tangan para sukarelawan.                    
            Pertemuan kedua, program Nulis Bareng Sobat memberikan sedikit keyakinan bahwa sistem pendidikan di negeri ini, tidaklah perlu perbaikan sebesar yang dibayangkan banyak orang. Cukuplah, membuatnya berjalan sesuai yang diinginkan para generasi penerus. Ya, karena merekalah yang akan menjalani semuanya.
Ice Breaking di pertemuan kedua
            Melalui kegiatan menulis, kami para pejuang aksara (relawan NBS) mengajak semua murid untuk dapat menguasai bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Pertemuan kedua, memang belum meninggalkan jejak yang membekas bagi setiap murid di kelas 4 A SD Negeri Paccinang.     
            Salah seorang murid bernama Muhammad Ramadhani, membuatku terdiam sesaat. Ketika kelas akan usai dipertemuan kedua. Dia menyapaku dengan fasih, ya..dengan senyum yang khas dan tatapan mata yang selalu terlihat berbinar.
                “Bu Riri, apa kabar?”
            “Ia mengingat namaku, meski pertemuan kedua dilaksanakan terundur seminggu, lantaran bertepatan hari libur di tanggal 1 Hijriah, tepatnya 25 Oktober 2014,” Batinku menatapnya dengan menebar senyum gembira.
            Sedikit mengajak kembali ke pertemuan pertama Nulis Bareng Sobat, anak inilah yang mengeluarkan statement mengejutkan. Ketika semua anak hanya mendapatkan tugas menuliskan keterangan gambar yang diberi hanya 3 paragraf. Menurutnya itu terlalu sedikit, pernyataan yang membuatku selalu berharap ada kejutan-kejutan lain di setiap pertemuan yang akan kami lakukan nanti.
            Tepat seperti dugaanku, Ia selalu dapat memberiku kejutan. Meski, kejutan itu hanya karena Ia mengingat namaku dengan jelas. Perasaanku sedikit lega, mengingat negeri ini masih memiliki harapan tuk berubah menuju ke arah jauh lebih baik.
            Pertemuan kedua ini, kami mengajak semua murid untuk menggambarkan kondisi rumah mereka. Tidak ada hal yang menyulitkan mereka, justru terlihat jelas kegembiraan mereka ketika harus menceritakan apa saja yang ada di rumah mereka.
            Program ini memang baru saja berjalan 2 pertemuan, namun pendonasian waktu yang kami lakukan sedikit demi sedikit membuka tabir gelap dalam sistem pendidikan di sekolah ini. Ketika, murid kelas 4 lainnya kerap enggan tuk menulis atau mengasah kemampuan menulis mereka, anak-anak ini memperlihatkan hal yang berbeda.
Kegiatan Kelas 4 A di Pertemuan Kedua NBS
            Semua yang diberikan oleh pejuang aksara, diterima dengan senyuman dan kegembiraan. Seperti yang terlihat jelas dari senyum manis anak bernama Ramadhani yang tepat berdiri di hadapanku kala itu. Ternyata, Indonesia hanya membutuhkan lebih banyak senyum anak negeri, untuk mengubah dunia pendidikan menjadi seperti apa yang kita dambakan selama ini.
            Salah satu perubahan yang mulai terlihat yakni pemilihan kata serta kemampuan menulis mereka yang terus berkembang. Meskipun, keaktifan mereka sedikit tidak bisa dikendalikan oleh para pejuang aksara (relawan NBS). Semua itu tidak menghalangi proses perubahan yang akan kami lakukan melalui kegiatan Nulis Bareng Sobat.
Foto bareng Pejuang Aksara dan Murid-murid 4 A SDN Paccinang
            Kami masih tetap akan berjuang, meski hanya melalui serpihan kata-kata yang berusaha kami kumpul dari generasi penerus negeri ini. Melalui mimpi yang coba digambarkan melalui secarik kertas putih, serta menumbuhkan setiap harapan yang kadang redup, lantaran kondisi ekonomi yang menarik paksa seseorang tuk menyerah mengejar mimpi.