Sabtu, 10 Agustus 2013

07... O..M..G


EVERY DAY WRITING 07 (10 AGUSTUS 2013)
O..M..G
           
            Dua hari lagi, seluruh umat muslim di dunia kembali merayakan hari kemenangan. Setelah sebulan berhasil menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa. Dita sekeluarga juga tidak mau ketinggalan, ikutan sibuk mempersiapkan semua hal yang dibutuhkan jelang lebaran. Seperti keluarga yang lainnya, keluarga Dita juga berburu baju lebaran.

            Padahal, seminggu sebelum lebaran, Papa satu-satunya orang yang tidak mau ikut-ikutan berdesakan di Mall, hanya demi selembar baju baru untuk dipakai di hari lebaran. Namun, hari ini, sejak menerima telepon dari seseorang, Papa jadi sibuk dan heboh teriak-teriak tidak jelas.

            “Ditaaa……….. Kariinnnn……… Andiiiiiiiiiiiii………………Mamaaaaa, Aduh pada kemana sih?”

            “Yaa…Paaa,” Mama berlari dari dapur ke arah Papa yang mondar-mandir di ruang TV.

            “Anak-anak mana Ma?”

            “Masih pada tidur, Pa. Memangnya kenapa?”

            “Bangunin mereka, Ma. Penting”

            “Ahhhh, kenapa Pa? Penting??” Mama jadi bengong dan masih menelaah kata-kata penting yang tadi Papa bilang.

            “Mama, nunggu apaan sih? Bangunin anak-anak Mamaaa,”

            “Astaga, Mama baru ingat. Pasti mereka ketahuan bolos sekolahkan? Makanya Papa jadi uring-uringan kayak ikan yang mau dipepes? Hmmm…hmmmm,” Mama ninggalin Papa yang jadi bengong dengar pernyataan Mama.

            “Mama..ada-ada saja pikirannya. Padahalkan, anak-anak memang sudah pada libur. Tapi, biarin deh yang penting mereka bangun,”

            “Ditaaaa………… Taaa……………….”

            “Karinnaaaa, karinnnnnnnn……”

            “Andii……….andiiiii…………………….”

            “Iya Ma, Karinkan masih ngantuk Ma. Lagian ini masih terlalu pagi untuk bangun Mamaku sayang,” Karina keluar dari kamar masih sambil mengucek matanya, dan sesekali tampak menguap lebar.

            “Iya nih, Mama kenapa sih teriak-teriak. Padahalkan, Mama tahu kita-kita baru tidur selepas shalat subuh tadi, ngantuk nih Ma,” Andi keluar dari kamarnya sambil masang muka cemberut.

            “Dita Mana? Kakak kalian mana?”

            “Kenapa sih Ma? Dita udah turun nih?”

            “Lho koq tumben bisa cepat Bangunnya?” Mama malah masang muka takjub lihat anak sulungnya, bisa bangun tanpa harus diteriakin berkali-kali.

            “Dita belum tidur Mama. Baru saja mau tidur, Papa udah teriak-teriak. Terus disusul Mama yang teriak. Pagi-pagi gini kita dikumpulin mau rapat keluarga ya Ma?”

            “Ahh.. rapat?? Mama manggil kalian semua. Mama mau Tanya kenapa kalian….?” Belum sempat Mama menyelesaikan pertanyaannya, Papa datang dan menjelaskan maksud dan tujuan mereka dibangunkan.

            “Mama, biar Papa yang sampaiin ya. Begini nih, anak-anak. Lebarankan tinggal 2 hari lagi, bagaimana kalau kita hari ini ke Mall?”

            “Lhooo, Pa.. bukannya karena mereka….,”

            “Nah, bagaimana anak-anak? Kalian belum punya baju lebarankan?”

            “Papaaa… koq Mama malah dicuekin sih?”

            “Yang cuekin Mama siapa?”

            “Lha bukannya Papa? Bukannya mereka dibangunkan karena mereka belum libur dan hari ini, mereka niat bolos berjamaah,”

            “Ahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh” Papa dan anak jadinya kaget berjamaah.

            “Koq, Papa malah bengong sih? Kan tadi bilangnya bangunin anak-anak, ada yang Penting Ting ting yang mau dibilang,”

            “Mama.. istriku tercinta, ibu anak-anakku. Tapi, Papa tidak bilang mau marahin mereka kan? Lagian mereka sudah libur Ma dari kemarin,”

            “Mulai deh romansa cinta Maria Mersedes,” Ujar Dita dan kedua adiknya yang lebih memilih kembali ke kamar masing-masing, ketimbang lihat Papa dan Mama lagi mesra-mesraan kayak anak ABG sedang dimabuk cinta.

            “Lho..kalian mau kemana? Kita jadi Ke Mall kan?”

            “Jadi dong Pa, tapi Mall belum buka kalau jam 6 pagi. Mall bukanya jam 10-an Papa,” ucap Dita sambil menaiki anak tangga.

            “Iya ya hahaha,” Papa melirik jam dinding yang kebetulan diletakkan di ruang Makan.

            “Kenapa tiba-tiba mau ke Mall, Pa?”

            “Cari baju lebaran-lah Ma,”

            “Bukannya Papa bilang lebaran tidak harus dengan baju yang baru?”

            “Itukan kemarin Ma”

            “Ahhh, kemarin? Bukannya Papa baru saja mengulang pernyataan serupa pas santap sahur tadi?”

            “Begitu ya Ma, Papa koq ga ingat ya,”

            Mama tiba-tiba memegang kepala Papa, “Tidak demam koq”

            “Memang Papa tidak demam Mama,”

            “Tapi, kenapa Baju lebaran baru?”

            “Memangnya Mama ga mau ya, baju baru?”

            “Ya maulah, siapa yang tidak mau?”

            “Kalau gitu, ikut ke Mall,”

            “Iya deh, daripada Mama tidak dapat baju baru seperti tahun kemarin,” Papa mengecup dahi Mama penuh cinta.

            Belum pukul 10 pagi, keluarga Baskoro Iman sudah ada di parkiran Mall, bersiap-siap untuk berburu baju lebaran. Baju lebaran yang mungkin saja tinggal sisa stok tahun lalu, tapi tekad mereka tidak lagi bisa dibendung. Belum ada satupun pengunjung, hanya beberapa pegawai Mall yang baru saja melenggang memasuki pintu samping Mall.

            “Tinggal 10 menit lagi, ayo anak-anak kita turun. Kita tunggu di depan pintu Mall saja,” ujar Papa lantang. Mama dan ketiga anaknya seakan terkena hipnotis mendengar kata-kata Papa.

            “Ayo anak-anak, kita turun,” Mama tidak kalah semangatnya.

            Dita, karina, dan Andi hanya bisa ikut. Tanpa mengeluarkan satu kata apapun.

            “Mba, koq belum dibuka? Kan sekarang sudah lewat 5 menit dari pukul 10,” Tanya Papa pada salah seorang pramuniaga yang kebetulan lewat.

            “Iya pak, sebentar lagi. Tuh pintunya sudah dibuka. Silahkan Masuk Pak, selamat berbelanja,”

            “Asyiikkkkk,” mereka berlima berlari seperti lima anak kecil yang sedang bermain petak umpet.

            “Mama ikut sama Papa, anak-anak kalian bertiga carilah baju yang kalian suka, ini uang masing-masing,” Papa mengeluarkan 750 ribu buat Dita, 500 ribu buat Karina dan Andi.

            “Ayo, adik-adik. Let’s go. Have a great day Pa, Ma,”

            Mereka berpencar mencari dan berburu baju lebaran.

            “Anak-anak, 3 jam ke depan kita kembali ketemu di pintu masuk ya,” teriak Papa mengingatkan ketiga anaknya.

            Berbelanja bersama Mama ternyata lebih sulit ketimbang membantu Mama untuk beres-beres rumah. Semua baju yang dipilih untuk Papa, harus ada warna atau corak ungu, karena Mama suka ungu. Harus ada sisi yang disulam bunga, karena Mama percaya kalau lelaki yang menyukai bunga adalah lelaki yang penyayang. Jadilah, Papa harus menahan rasa mangkelnya, karena semua pilihan Papa selalu tidak sesuai dengan kriteria yang Mama ajukan.

            “Papa, itukan warna putih polos”

            “Bukannya lebaran membuat kita kembali fitrah Mama? Dan putih lambing kefitraan”

            “Tapi Pa, ga ada corak ungunya. Kalau Ga ada ungunya, ga boleh. Nanti kita jadi tidak seragam Pa”

            “Iya deh, kalau yang ini gimana?”

            “Bagus corak ungunya,”

            Papa senang mendengar pernyataan Mama, Papa kira pilihannya-lah yang akan di bawa ke kasir. Tapi, ternyata mendekati seorang pramuniaga.

            “Mba, baju yang ini ada yang pakai sulam bunga ga mba di dadanya?”

            “Pakai sulaman ya bu?”

            “Iya, pakai sulaman dan ada corak ungu kayak gini”

            “Tunggu sebentar ya bu, saya carikan dulu,”

            Mama berbalik ke arah Papa, sambil menaikan jempol tanda semua masalah akan beres sesaat lagi. Tapi, Papa punya firasat buruk terhadap pilihan yang akan Mama pilih.

            “Hanya ada yang ini Bu. Bagaimana?”

            “Wahhh..ini cocok banget dengan yang saya mau, terima kasih mba,”

            Tanpa bertanya kembali kepada Papa, Mama berjalan menuju kasir.

            “Maaa….. Mama, koq ambil yang itu sih? Itukan…itukan?”

            “Kenapa Papa? Bukannya ini bagus banget. Corak ungu ada, ada sulam bunganya lagi,”

            “Tapi Ma…”

            “Tapi kenapa Papa?” Mama menghentikan langkahnya.

            “Itukan bukan baju koko, itu lebih mirip kaftan buat perempuan Mama,”

            Mama kembali memperhatikan baju yang diserahkan Mba-mba menjaga tokoh tadi.

            “Wallaaahhh,… iya ya,” Mama kembali melangkah ke mba-mba yang tadi.

            “Mba koq saya dikasih kaftan sih?”

            “Bu tadikan Cuma bilang yang ada corak ungunya, dan ada sulam bunganya bu. Tidak bilang harus bagus koko kan?” mbanya memasang muka lugu.

            “Iya sih, tapikan. Mbanya harus lebih peka dong. Masa suami saya harus pakai kaftan kayak saya. Nanti suami saya lebih cantik dari saya gimana?”

            Mendengar pernyataan Mama, mba pramuniaga itu mencoba menahan tawa yang ingin pecah.

            “Tapi bu, kita tidak punya yang ibu minta?”

            “Nah..bilang kayak ginikan lebih enak. Mana baju yang tadi?”

            “Yang tadi?”

            “Iya, baju yang tadi saya kasih ke mba”

            “Aduuuhhh,”

            “Koq Aduuuuhh sih Mba?”

            “Bajunya sudah dibayar sama bapak yang pakai baju strep-strep ungu-putih itu lho bu,”

            “Aaaahhhhhhhhhhhhhhhh,”

            “Ngga apa-apa Ma, papa beli yang putih polos saja ya,” Papa mencoba menenangkan Mama yang syok mengetahui baju satu-satunya yang tadi diambil sudah dibeli orang lain.

            “Iya deh Pa, Maaf”

            “Iya, yuk kita bayar. Makasih ya Mba”

            Papa dan Mama menuju ke kasir dan membayar baju yang telah dipilih. Papa dan Mama menunggu ketiga anaknya, di salah satu tenan yang menawarkan jualan sepatu dan parfum.

            “Pa, kita beli parfum ya?”

            “Buat apa, kan parfum Mama masih banyak. Kemarin Papa juga kasih-kan”

            “Iya sih, tapi…”

            “Tapi?? Mama mau ikutan jualan Parfum?”

            “Hahaha..Papa bisa aja, Mama kan ga jago dagang,”

            “Iya, Papa tahu itu koq Ma,”

            “Papa, Mama sudah selesai belanjanya. Kami bertiga juga sudah koq, yuk pulang,” Dita mengagetkan Papa dan Mama yang masih bercanda di depan penjual parfum.

            “Ayooo, lets go home,”

            “Sebenarnya, kenapa Papa tiba-tiba mau belanja dan pakai baju baru lebaran tahun ini?” Karin memecah kebisuan di dalam mobil.

            “Tadi, nenek telepon. Katanya mau lebaran dirumah,”

            “Waaahhhhh…nenek mau datang ya Pa,” Andi ikutan senang mendengar nenek mau datang lagi tahun ini.

            “Trus, apa hubungannya kita harus belanja Pa?” Karin melanjutkan pertanyaannya.

            “Kalau tahun ini, kita lebaran dengan baju yang sama. Apa kata nenek Karin?”

            “Memangnya nenek bakal bilang apa sih Pa?” Mama ikutan bingung mendengar perkataan Papa.

            “Mama seperti tidak tahu saja, siapa mertua mama?”

            “Memangnya siapa Pa?”

            “Astaga Mama, ya Mamanya Papa-lah”

            “kalau itu Mama tahu Pa,”

            “Trus kenapa tadi bertanya?”

            “Kenapa ya? Hehehe”

            “Memangnya nenek kenapa Pa?”

            “Nenek akan menjahitkan kita baju, dan bisa dipastikan baju yang sama dengan baju yang dikasih ke kedua keluarga saudara Papa,”

            “Lho, bukannya itu lucu dan menarik Pa. kitakan belum pernah dijahitkan baju sama nenek?”
           
            “Karin.. ini tidak selucu dan semenarik yang ada dalam pikiranmu nak.”

            “Trus..”

            “Nenek akan jahit baju yang menggunakan banyak warna dan berumbai-rumbai kayak Baju si Raja Dangdut..siapa namanya, Papa lupa, hmmm Roma”

            “Roma biskuit Pa,” Mama nyeletuk

            “Bukan, Roma..”

            “Ya biskuit. Papa ini gimana toh. Nenek-kan suka tuh,”

            “Roma Irama Pa,” Karin membetulkan

            “OOhhh sejak kapan dia ganti naman?” Mama jadi bingung.

            “Namanya memang itu Mama,” Karin menjawab sambil tersenyum pada Mama.

            “Ooo gitu ya?”

            “Dan yang lebih parahnya, kita akan disuruh menggunakannya selama 3 hari berturut-turut, dan diakhiri dengan berfoto gaya yang disebutnya modern. Tapi kalau menurut Papa itu lebih ke arah alay,”

            O…M…G, syukurlah kita belanja Pa,” Karin dan Andi kompakan mengusap muka mereka tanda bersyukur.

            Dita ternyata sudah terlelap, dan masuk kea lam mimpi. Meninggalkan semua orang yang dalam mobil dalam perbincangan yang panjang.



                      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar