"Een
voor Allen maar Ook Allen voor Een" atau yang dalam bahasa Indonesia
diartikan “Satu untuk semua, tetapi semua juga untuk Satu”. Sebuah tulisan yang
di tulis oleh seorang pemuda yang dijamannya baru berusia 24 tahun. Pria
bernama lengkap Raden Mas Soewardi Soejaningrat atau yang lebih akrab dikenal
dengan nama Ki Hajar Dewantara.
Sebuah
perguruan yang dibernama Taman siswa, menjadi bukti jejak rekam sejarah atas
perjuangannya dalam dunia pendidikan tanah air. Lembaga pendidikan yang tidak
membeda-bedakan siapa saja yang ingin mengenyam indahnya ilmu pengetahuan.
Bukan hanya memberikan kesempatan yang sama bagi para pribumi, untuk bisa
memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang
Belanda. Namun, beliau-lah yang akhirnya menciptakan pintu gerbang kemerdekaan
kepada semua penduduk, agar dapat duduk bersama-sama dalam menyelami setiap
ilmu.
5
(lima) tahun diasingkan ke negeri Belanda, membuat tekadnya semakin mendarah
daging, ingin menghidupkan dunia pendidikan di tanah air yang sempat mati suri.
Sistem pendidikan yang digunakannya kala itu, masih dikenal hingga kini.
Semboyan itu dalam bahasa jawa berbunyi ing
ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani (di depan
memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan).
Dunia pendidikan rakyat Indonesia masih menggunakan semboyan tersebut, terlebih
di sekolah-sekolah Perguruan Taman
Siswa.
Pada
usia 40 tahun, dirinya rela melepas gelar kebangsawanannya, hanya untuk bisa
lebih dekat dengan mereka yang ingin mengeyam ilmu pendidikan di Perguruan
Taman Siswa. Dalam kabinet pertama Republik Indonesia, Ki Hajar Dewantara
diangkat menjadi Menteri Pengajaran Indonesia, atau jika disamakan dengan
kekinian, dikenal sebagai Menteri Pendidikan. Ia-pun menghembuskan nafas
terakhirnya di Yogjakarta pada tanggal 26 April 1959, dan di Makamkan di Taman
Wijaya Brata.
Bumi
pertiwi-pun bersedih atas kepergian pahlawan yang memperjuangan hak-hak rakyat jelata atas dunia pendidikan. Untuk
memberikan sebuah penghormatan atas segala jasa, dan perjuangan beliau maka
tanggal kelahirannya dijadikan sebagai peringatan Hari Pendidikan Nasional
(HARDIKNAS).
54
tahun silam, hari yang diagung-agungkan oleh segenap tumpah darah Indonesia
diperingati. Dan, tepat hari ini 2 Mei 2013, Bendera Merah Putih kembali
dikibarkan dihampir seluruh wilayah Indonesia. Hening cipta-pun seakan mampu
membawa kembali, ruh perjuangan Ki Hajar Dewantara mampir di setiap lapangan
sekolah yang menggelar peringatan HARDIKNAS.
Namun,
apakah setelah 54 tahun perjuangan Ki Hajar Dewantara telah membuahkan hasil?
Sudah meratakah pendidikan di negeri ini? Apakah rakyat jelata yang dulu
diperjuangkan oleh Ki Hajar Dewantara telah mengeyam ilmu pendidikan dengan
layak?
Diantara
himpitan ekonomi dan ganasnya peperangan Ki Hajar Dewantara masih mampu
mengukir dan membangun sebuah perguruan di tanah Jawa. Kenapa dunia pendidikan
di Indonesia seolah masih jalan ditempat? Padahal, HARDIKNAS diperingati setelah
14 tahun pasca kemerdekaan diproklamirkan oleh Presiden Soekarno. Tidak adalagi
penjajah, tidak ada lagi orang-orang yang akan menghalangi kemajuan dunia
pendidikan.
Tersenyum
atau justru menangiskah wajah pendidikan Indonesia saat ini? Apalagi, jika kita
mengingat kasus Ujian Nasional yang sempat diundur, hanya karena persoalan
distribusi soal dan lembar jawaban yang tidak sesuai waktu yang ditentukan. Tidak
malukah para pemimpin negeri ini, atas pencorengan nama baik dunia pendidikan
saat itu. Tidakkah, Ki Hajar Dewantara dengan nyata telah memberi contoh,
disaat dirinya rela tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan dirinya, hanya
untuk melepas sekat derajat antara dirinya dan rakyatnya.
Prasarana
dan sarana pendidikan yang diharapkan menjadi faktor penunjang yang utama, juga
masih belum bisa dikategorikan merata di hampir seluruh negeri. Masih butuh
berapa lama lagi, jika 54 tahun belum mampu membawa kemerdekaan seutuhnya di
dunia pendidikan tanah air.
Tersenyum,
tertawa, dan menangisnya dunia pendidikan berada di tangan kita masing-masing.
Negeri ini, membutuhkan lebih banyak lagi Ki hajar Dewantara yang hidup melalui
jiwa-jiwa patriot rakyat Indonesia.
Penjajah
mungkin saja telah hengkang dari tanah air. Namun, untuk menyadarkan bahwa
negeri ini telah bebas, mungkin masih butuh waktu.
“SELAMAT
HARI PENDIDIKAN NASIONAL”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar