Kamis, 02 Mei 2013

Coretan Untuk Negeriku, TERSENYUM ATAU BERSEDIHKAH WAJAH PENDIDIKAN INDONESIA


"Een voor Allen maar Ook Allen voor Een" atau yang dalam bahasa Indonesia diartikan “Satu untuk semua, tetapi semua juga untuk Satu”. Sebuah tulisan yang di tulis oleh seorang pemuda yang dijamannya baru berusia 24 tahun. Pria bernama lengkap Raden Mas Soewardi Soejaningrat atau yang lebih akrab dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara.

Sebuah perguruan yang dibernama Taman siswa, menjadi bukti jejak rekam sejarah atas perjuangannya dalam dunia pendidikan tanah air. Lembaga pendidikan yang tidak membeda-bedakan siapa saja yang ingin mengenyam indahnya ilmu pengetahuan. Bukan hanya memberikan kesempatan yang sama bagi para pribumi, untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda. Namun, beliau-lah yang akhirnya menciptakan pintu gerbang kemerdekaan kepada semua penduduk, agar dapat duduk bersama-sama dalam menyelami setiap ilmu.

5 (lima) tahun diasingkan ke negeri Belanda, membuat tekadnya semakin mendarah daging, ingin menghidupkan dunia pendidikan di tanah air yang sempat mati suri. Sistem pendidikan yang digunakannya kala itu, masih dikenal hingga kini. Semboyan itu dalam bahasa jawa berbunyi ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani (di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan). Dunia pendidikan rakyat Indonesia masih menggunakan semboyan tersebut, terlebih di  sekolah-sekolah Perguruan Taman Siswa.

Pada usia 40 tahun, dirinya rela melepas gelar kebangsawanannya, hanya untuk bisa lebih dekat dengan mereka yang ingin mengeyam ilmu pendidikan di Perguruan Taman Siswa. Dalam kabinet pertama Republik Indonesia, Ki Hajar Dewantara diangkat menjadi Menteri Pengajaran Indonesia, atau jika disamakan dengan kekinian, dikenal sebagai Menteri Pendidikan. Ia-pun menghembuskan nafas terakhirnya di Yogjakarta pada tanggal 26 April 1959, dan di Makamkan di Taman Wijaya Brata.

Bumi pertiwi-pun bersedih atas kepergian pahlawan yang memperjuangan hak-hak  rakyat jelata atas dunia pendidikan. Untuk memberikan sebuah penghormatan atas segala jasa, dan perjuangan beliau maka tanggal kelahirannya dijadikan sebagai peringatan Hari Pendidikan Nasional (HARDIKNAS).

54 tahun silam, hari yang diagung-agungkan oleh segenap tumpah darah Indonesia diperingati. Dan, tepat hari ini 2 Mei 2013, Bendera Merah Putih kembali dikibarkan dihampir seluruh wilayah Indonesia. Hening cipta-pun seakan mampu membawa kembali, ruh perjuangan Ki Hajar Dewantara mampir di setiap lapangan sekolah yang menggelar peringatan HARDIKNAS.

Namun, apakah setelah 54 tahun perjuangan Ki Hajar Dewantara telah membuahkan hasil? Sudah meratakah pendidikan di negeri ini? Apakah rakyat jelata yang dulu diperjuangkan oleh Ki Hajar Dewantara telah mengeyam ilmu pendidikan dengan layak?

Diantara himpitan ekonomi dan ganasnya peperangan Ki Hajar Dewantara masih mampu mengukir dan membangun sebuah perguruan di tanah Jawa. Kenapa dunia pendidikan di Indonesia seolah masih jalan ditempat? Padahal, HARDIKNAS diperingati setelah 14 tahun pasca kemerdekaan diproklamirkan oleh Presiden Soekarno. Tidak adalagi penjajah, tidak ada lagi orang-orang yang akan menghalangi kemajuan dunia pendidikan.

Tersenyum atau justru menangiskah wajah pendidikan Indonesia saat ini? Apalagi, jika kita mengingat kasus Ujian Nasional yang sempat diundur, hanya karena persoalan distribusi soal dan lembar jawaban yang tidak sesuai waktu yang ditentukan. Tidak malukah para pemimpin negeri ini, atas pencorengan nama baik dunia pendidikan saat itu. Tidakkah, Ki Hajar Dewantara dengan nyata telah memberi contoh, disaat dirinya rela tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan dirinya, hanya untuk melepas sekat derajat antara dirinya dan rakyatnya.

Prasarana dan sarana pendidikan yang diharapkan menjadi faktor penunjang yang utama, juga masih belum bisa dikategorikan merata di hampir seluruh negeri. Masih butuh berapa lama lagi, jika 54 tahun belum mampu membawa kemerdekaan seutuhnya di dunia pendidikan tanah air.

Tersenyum, tertawa, dan menangisnya dunia pendidikan berada di tangan kita masing-masing. Negeri ini, membutuhkan lebih banyak lagi Ki hajar Dewantara yang hidup melalui jiwa-jiwa patriot rakyat Indonesia.

Penjajah mungkin saja telah hengkang dari tanah air. Namun, untuk menyadarkan bahwa negeri ini telah bebas, mungkin masih butuh waktu.

“SELAMAT HARI PENDIDIKAN NASIONAL”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar