Selimut
hitam telah menutupi langit semenjak jarum jam merangkak ke angka delapan. Cahaya
kerlap-kerlip lampu jalan, menjadi pemandangan yang paling indah, dikala waktu
pulang ke rumah tiba. Kaca jendela mobil angkutan umum kota seakan mampu
membingkai setiap keindahan suasana malam di kota kelahiranku, Makassar.
Kebisingan jalan dan hiruk pikuk orang-orang yang sedang mencari pengganjal
perut pada malam hari, menjadi musik instrumen maha dasyat di pendengaranku.
Setiap aktifitas yang tertanggap
lensa mataku, selalu mampu menggerakkan syaraf di sekitar wajahku, menarik
sudut-sudut bibirku, membentuk senyum dan membuat segalanya menjadi rileks. Perjalanan
dari tempat kerja sambilanku ke rumah, memang terbilang cukup menghabiskan
waktu. Paling cepat 30 menit, kalau macet atau ada pesta pernikahan di salah
satu gedung terbesar di bilangan jalan Jenderal Sudirman, bisa sampai sejam
lebih baru bisa sampai ke rumah.
Tetapi, film dokumenter tentang kehidupan
yang disuguhkan melalui kaca jendela di setiap perjalananku menuju rumah,
membuatku betah berlama-lama di atas angkot. Meskipun, perpindahan dari satu
frame ke frame yang satu rada cepat, namun diriku bisa menikmati setiap
adegannya. Adegan tanpa suara, karena tertutupi oleh bisingnya bunyi mesin
kendaraan dan lagu dangdut yang dipilih sang supir angkot.
Sebut
saja namaku Torie, baru sekitar 5 (lima) bulan lalu, diriku balik dari Jogja
setelah menempuh pendidikan D3 Teknik Elektro di Universitas terbesar dan
ternama di tanah kraton, UGM. Meski saat ini, apa yang kukerjakan tidak sesuai
dengan bidang ilmu yang ku enyam di bangku kuliah. Namun, setidaknya menjadi
seorang pendidik juga bisa diselaraskan dengan ilmu apapun yang kita tempuh.
Khayalku
kembali melayang ke masa-masa remajaku, dikala kulihat segerombolan remaja
melintas di samping pete-pete (sebutan angkot di Makassar) yang sedang ngetem
di depan kantor Telkom. Daya khayalku membawa ingatanku ke Tahun 2002, dimana diriku
dengan modal nekat meninggalkan tanah kelahiranku untuk menempuh pendidikan di
tanah Jawa. Semua permintaan Ibuku untuk melarangku berangkat, kutepis dengan
seribu satu alasan yang menurut logika jiwa remajaku saat itu, kereen.
Ingin
lebih mandiri menjadi alasanku paling kuat kala itu. Setelah ujian SPMB
(Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru), diriku dinyatakan tidak lulus yang
kuketahui melalui pengumuman di koran ternyata nomor ujianku tidak kutemukan. Bujukan
Ibuku untuk mengajakku pulang kembali kutepis, dengan alasan masih ada kesempatan
masuk UGM, karena ujian untuk jenjang pendidikan Diploma belum dibuka. Empat
orang teman kost yang juga tidak lulus UGM, ingin mencoba masuk di Universitas
lain di Jogja. Ada yang memilih UMY (Universitas Muhammadiah Yogyakarta), dan ada
yang ke UII (Universitas Islam Indonesia). Aku pun, lebih memilih D3 Teknik
Elektro di UGM, dan akhirnya bisa juga kusandang status sebagai mahasiswi UGM
setelah akhirnya semua soal ujian bisa kuselesaikan dengan baik.
Hingga
akhirnya cerita cinta juga menyapaku, dikala semester satu baru saja berjalan.
Pria yang lima tahun lebih tua dari usiaku, menjadi teman, sahabat, kakak,
sekaligus pengganti Bapakku di tanah Rantau. Menemaniku melewati masa-masa
sulit, masa-masa semangat jiwa remaja ingin membuktikan kepada orang tua bahwa
diri ini bisa membuat mereka bangga.
Sambil
kuliah, diriku juga menjadi asisten dosen di laboratorium di Kampus utama D3
Teknik Elektro. Mengumpulkan sedikit demi sedikit rupiah dengan niat untuk
membelikan tiket pesawat kedua orang tuaku di saat wisuda nanti. Meski di
semester akhir tidak begitu berjalan sesuai dengan rencana, tetapi karena
semangat ingin mengukir senyum indah Ibu kembali, semua masalah-pun dapat
teratasi dengan mulus.
Lulus
sebagai wisudawan tercepat, menjadi satu kebanggaan yang tidak terkira
harganya. Ditambah lagi bisa membantu membelikan tiket pesawat Ibu dan Bapak
untuk berangkat ke Jogja dengan uang tabungan. Rasa haru menyeruak disaat ku
kecup tangan kedua orang tua yang menyayangiku selama ini.
Menggunakan
toga, baju kebesaran mahasiswa dan disaksikan oleh kedua orang tua dan lelaki
yang selalu setia dengan rasa sayangnya kepadaku selama ini, membuatku yakin
bahwa surga yang dijanjikan Allah pastinya begitu menawan. Dan, meski diriku
belum di surga, tetapi rasa nyaman berselimut kebahagiaan seakaan memeluk raga
dan jiwaku, dikala namaku dipanggil dipodium untuk melakukan prosesi wisuda.
Kulangkahkan
kakiku dengan sangat santai, seraya menengok ke arah kedua orang tuaku yang
duduk di jajaran tamu undangan. Tidak terasa, rasa hangat mengalir di kedua
pipiku. Pandangan mataku menjadi tidak terlalu jelas, akibat air mata yang
menggantung di pelupuk mata yang saling dorong ingin ikutan meluncur di kedua
pipiku.
Setengah
tahun setelah wisuda pada tahun 2005, diriku menyempatkan pulang ke Makassar.
Sekaligus, untuk membantu menyebarkan undangan pernikahan kakak perempuan
keduaku. Aku anak ketiga dari empat orang bersaudara, hanya adik bungsuku yang
berjenis kelamin laki-laki. Kakak pertamaku telah lama menikah, di saat aku masih
duduk di bangku kelas 6 SD.
Rencananya,
kepulanganku kali ini, juga bermaksud untuk memperkenalkan secara resmi lelaki
yang menyayangi dan menjagaku di tanah Rantau. Lelaki itu bernama Panca Agung Miluhur,
lelaki berdarah biru, yang dibesarkan di Bogor. Mas Panca datang seminggu
sebelum kakakku menggelar akad nikah.
Kedatangannya
juga diselipkan maksud ingin meminangku, namun belum niat itu tersampaikan ke
telinga kedua orang tuaku, kabar tidak mengenakkan datang dari Bogor, Ibunya
sekarat dan semua keluarga sudah berkumpul. Mas Panca terpaksa pulang tergesa
setelah resepsi pernikahan kakakku digelar.
Tidak
sampai seminggu, kabar duka-pun sampai ditelingaku dan keluargaku, tepat pada
tengah malam di tanggal yang sama di saat kota Jogja diguncang gempa yang
dasyat. 27 Mei 2006, menjadi malam berduka bagi keluargaku dan keluarga Mas
Panca. Kabar sedih juga datang dari teman-teman kostku yang ada di Jogja. Gempa
yang terjadi pada pukul 05:55 selama 57 detik itu, telah meluluh lantahkan
hampir seluruh tanah keraton.
Belum
sempat diriku berpikir jernih, kabar yang tidak mengenakkan datang dari
keluarga Mas Panca. Mereka membatalkan rencana untuk meminangku, karena menurut
mereka budaya di tanah kelahiranku memberatkan mereka. Dan, kakak
perempuannya-lah yang menelpon dan dengan tegas membatalkan seluruh rencananya
yang telah disusun selama beberapa bulan terakhir oleh diriku dan Mas Panca.
Telepon
genggamku berdering saat adzan Isya berkumandang dari masjid dekat rumahku
dikala kulirik nama Mba Laras (kakak perempuan Mas Panca) berkedap-kedip
dilayar HP Nokia 3315-ku.
“Assalamu
alaikum Mba, apa kabar Mba?”
“Wa
alaikum Salam Rie, maaf Mba mendadak menelpon. Sebelumnya Mba juga ingin
mengucapkan maaf sebesar-besarnya kepada Torie dan keluarga.” Ujarnya terhenti.
Pikiran dan perasaanku seketika menjadi kacau mendengar kata demi kata yang
keluar dari speaker HP-ku.
“Maaf
kenapa Mba?, memangnya apa yang salah?”
“Maaf
Rie, setelah berbincang dan berdiskusi bersama keluarga, sepertinya kami tidak
mampu memenuhi permintaan Torie dan keluarga untuk menjalankan prosesi
pernikahan dengan adat istiadat keluarga Rie.”
Dada
sebelah kiriku seketika terasa sakit, paru-paruku juga seakan tidak mampu untuk
mengisap oksigen dengan benar lagi, saat mendengar penjelasan Mba Laras. Air
mataku mengalir tanpa di komando, tenggorokkanku seperti tertimpa pohon dan
tercekik, sehingga terasa sangat sakit. Bahkan menelan air liur-pun terasa
begitu menyakitkan. Hanya isak yang bisa kukeluarkan, saat mendengar semua
penjelasan yang diucapkan dengan enteng oleh Mba Laras malam itu.
“Masa
kami harus menyerahkan sertifikat tanah, untuk memberi uang panai’ (syarat
untuk meminang gadis berdarah Bugis-Makassar, selain mahar) saat lamaran nanti.
Inikan niatan baik, kenapa keluarga Rie seakan menghalang-halangi. Kami-kan
baru saja berduka, masa keluarga Rie masih memaksakan uang panai’ disertakan
dalam prosesi lamaran. Masa tidak ada saling menger...,”
Ku
potong kalimatnya dengan suara yang serak tertahan oleh isak.
“Keluarga
Rie, tidak pernah memaksakan itu ke keluarga Mba. Kalau memang mau dibatalkan,
tidak harus menyalahkan budaya yang ada ditanah kelahiranku. Tidak perlu juga
menggurui keluargaku tentang toleransi. Assalamu alaikum,” kututup telepon
dengan rasa marah dan isak yang pecah tak tertahan.
Malam
itu, terasa menjadi malam yang begitu panjang untuk dilalui. Setiap detiknya
menggoreskan rasa sakit yang tak tertahan didadaku. Ibuku berusaha
menenangkanku dengan pelukannya yang hangat. Usapan lembut jemarinya
disela-sela rambutku, membuat benteng pertahanan ke-ego-anku sebagai seorang
manusia runtuh seketika, luluh lantah dan gontai.
Isak
tangis masih tersisa dikala Mentari mencoba mengintip dan menorehkan warna
jingga di langit sebelah timur kotaku. Lukisan maha sempurna yang selalu
kukagumi, menambah rasa sakit didadaku.
Getaran
HP ditasku, berhasil membawa jiwaku kembali ke dunia nyata, dan meninggalkan
khayal yang menyedihkan jauh di sudut hatiku yang mulai terobati. Angkot yang
kunaiki ternyata belum beranjak dari posisinya di depan kantor Telkom. Kucoba
melihat sekeliling, tinggal 2 (dua) kursi yang belum terisi. Kubuka tas, dan
mengeluarkan HP yang masih bergetar, dan dilayar kulihat nama adik laki-lakiku.
“Assalamu
alaikum,”
“Rie,
kamu dimana? Ini sudah hampir setengah 10. Kamu koq belum nyampe rumah,” Ternyata
Ibuku. Tanpa sempat membalas salam yang kuucapkan, suara wanita yang selalu
setia mendengar keluhanku tentang hidupku terdengar khawatir di seberang sana.
“Masih
diangkot Ma, ini masih ngetem di depan kantor Telkom. Sekitar 15 menit lagi Rie
sampai Ma,”
“Ya
sudah, hati-hati, telepon jika sudah di depan ruko, biar nanti dijemput sama
adek kamu,”
Belum
sempat kujawab, telepon sudah ditutup. Tidak lama kemudian, angkot yang
membawaku beranjak dari tempat ngetemnya.
Setahun kemudian... (2008)
Kesibukkan
menemani hari-hariku, jabatan sebagai School Manager di salah satu sekolah
berbahasa Inggris. Tetapi, cita-citaku
ingin menjadi seseorang yang pandai dalam dunia tulis menulis. Membuatku harus
memutuskan meninggalkan anak-anak didikku dan menerima tawaran perusahaan
tabloid baru yang cukup menggoda.
Namun,
sayang seribu sayang.. perusahaan itu hanya berumur 3 (tiga) bulan. Tidak
sempat berlama-lama menganggur, panggilan menjadi reporter di majalah internal
Kodam VII/ Wirabuana menjadi angin segar.
Hari-hari
sibuk-pun dengan seketika menemani setiap langkah gontaiku. Hanya cahaya
bintang di sudut-sudut langit yang luas, menjadi teman setiaku melalui malam yang
terkadang menyiksa jiwaku yang masih sering terasa nyeri, akibat peristiwa 2
(dua) tahun silam.
Memandang
bintang, menjadi aktivitas tambahan yang selalu bisa menenangkan hati dan
jiwaku melewati hari-hari yang masih terasa berat, oleh beban masa lalu.
Luasnya langit mengajarkanku untuk ikut melapangkan hati yang mulai menyempit.
Centilnya kerlap-kerlip bintang menumbuhkan yakinku, bahwa kehidupan tidak
selamanya kelam.
Ibuku
dengan sabar selalu menemaniku melakukan aktivitas tambahanku. Mengajakku
bercerita apa yang terjadi setiap hari, membuatku tidak lagi tenggelam dalam
kesedihan yang berkepanjangan. Kesabaran dan ketabahan ibuku mampu meredakanku
dikala ego mendominasi tingkahku.
Wanita
inilah yang banyak mengajarkanku arti kehidupan, lewat diamnya mendengarkan
setiap cerita yang kuucapkan. Mengajakku menjadi dewasa, tanpa pernah sekalipun
memaksaku untuk meninggalkan jiwa remajaku. Dia tenangkanku dengan
masakan-masakan yang selalu mampu membangkitkan semangatku ‘tuk melangkah. Senyumnya
memberiku keyakinan bahwa diriku mampu menggenggam dunia.
Bintang
dan Ibuku, sama-sama berada diposisi yang tinggi. Sama-sama tenangkan akal dan
nalarku agar dapat terus berpikir jernih. Kerlip Bintang, sama dengan senyum
Ibuku yang tulus dikala langkahku terhenti di jalan yang gelap.
Teman,
sahabat, dan tempat mencurahkan kepedihan hidupku adalah Ibuku, sambil
memandang indahnya malam dengan bintang-bintangnya. Tidak pernah terbersit
sosok sahabat seperti apa yang kuinginkan, untuk menemani langkah-langkah
gontai dikala lingkungan tidak lagi bersahabat, dan disaat usia tidak lagi
muda.
Tahun 2010..
Dua tahun sudah, diriku bergelut
dengan dunia jurnalis. Menulis lebih banyak artikel membawaku ke dunia yang
asing, namun menyenangkan. Melupakan jalannya waktu, dan dengan cepat meninggalkan
jejak-jejak usang goresan luka.
Tepat pada tanggal 8 Desember 2008,
di perbatasan wilayah Kabupaten Gowa dan Kota Makassar, akhirnya diriku
menemukan sosok sahabat yang kuinginkan. Awak media sibuk meliput kegiatan
penyambutan Perdana Menteri Malaysia, Tun Abdul Razak yang berkunjung ke tanah
nenek moyangnya (karena Beliau merupakan keturunan Raja Gowa ke-16 Sultan
Hasanuddin). Pertemuan yang menjadi awal dari pertemuan-pertemuan selanjutnya
bagi kami.
Sosok wanita tomboi, cuek dan
sedikit angkuh inilah yang mampu membantuku untuk mendeskripsikan sosok sahabat
yang tidak pernah terbayangkan olehku dulu. Panggil saja dia Dee, wanita super
duper hebat dimataku ini memang pantas dijadikan sebagai seorang sahabat.
Profesinya yang dipilihnya-pun super
duper mewah menurutku, meski tidak begitu banyak wanita yang memilih profesi
ini. Menenteng kamera, membawa ransel serta menguyah permen karet menjadi ciri
khas dirinya.
Pertemuan kedua kami, pada bulan
Juni 2009. Beberapa hari sebelum adik laki-lakiku menggelar resepsi
pernikahannya. Dee merupakan tamu undanganku yang pertama, saat diriku
diberikan sekitar 10 undangan oleh ibuku.
“Undanglah
temanmu di pesta pernikahan Adikmu,” ucap ibuku saat menyerahkan 10 undangan
kosong tak bernama.
Namun, karena kesibukannya mengejar
berita, Dee tidak sempat menghadiri resepsi yang digelar pada tanggal 28 Juni
2009 di gedung Juang 45. Namun, dirinya sempat memberiku kabar lewat sms.
Sejak saat itu, tempatku bercerita
bertambah satu. Di kala Bintang tertutup dan bersembunyi di balik awan, sehingga
enggan menemani malam panjangku. Dan, dikala lelah mendominasi Ibuku, sehingga
tidak sempat mendengar ceritaku, kini ada Dee yang bisa tenangkan gelisahku.
Sahabat yang hadir, bukan hanya
menanyakan kabar dan kerjaku. Tetapi, sabahat yang juga mampu memberi terang
dikala awan kelabu mulai datang dan menutupi sebagian pandanganku. Berbagi cerita,
baik senang maupun sedih dengan gayanya yang cuek. Terkadang diriku iri
melihatnya bisa tenang menghadapi hal yang paling buruk sekalipun dalam
hidupnya. Tetap bisa mempertahankan jernih pikirannya disaat emosi memenuhi
rongga nalar dan perasaannya.
Hingga, saat lowongan pekerjaan
dikantornya datang dan membawa langkahku untuk mencoba peruntungan di sana.
Oktober 2010, menjadi awal langkahku memasuki dunia broadcasting yang sering
kudengar dari cerita-cerita Dee.
Dee adalah kameramen yang
dipasangkan denganku saat itu. Lelahnya dan gelisahnya yang sering kudengar
melalui cerita, kini juga menjadi teman di setiap hariku. Tetapi, kekagumanku
akan sosok sahabatku ini, tidak akan pernah hilang hingga kini.
Kelucuan, keluguan, serta kekonyolan
menjadi warna lain yang hadir disaat kami sudah menjadi teman, sahabat yang
bekerja dalam satu kantor. Kesensitifanku menanggapi keadaan menjadikannya
harus terus berpikir lebih jernih, agar mampu membawa kejernihan yang sama
dipikiranku.
“Sudahlah kak, orang-orang hanya iri
dengan apa yang kakak miliki. Jadi, percuma untuk menanggapi kejutekan dan
kesinisan orang-orang sombong dan belagu tapi oon seperti mereka,” ujarnya
menenangkanku disaat diriku berpikir untuk berhenti bekerja.
Kemarahannya-pun juga bisa
membangkitkan semangat yang sering kali kutepis dengan kalimat-kalimat tidak
yakin. Tetapi, otak dan nalarku menerimanya menjadi satu suplemen paling ampuh
yang bisa diberikan oleh seorang sahabat kepada sahabatnya yang galau.
Dialah orang pertama yang yakin dan
menularkan rasa yakin itu ke diriku, bahwa kemampuan menulisku bukan hal yang
kebetulan ada dan mampir, bukan pula hal yang datang tiba-tiba tanpa bakat.
“Teruslah menulis kak, apalagi itu
sudah menjadi cita-cita kakak sejak dulu, ingin memiliki buku sendiri. Tidak
semua orang diberkahi dengan bakat, dan kemampuan menggambarkan apapun dengan
goresan tinta” ucapnya disaat dia menemaniku memandang Bintang di depan teras
rumah.
Keberhasilanku merangkak
meninggalkan sisi gelap kehidupan yang sempat membuatku berhenti melangkah,
serta meraih kepercayaan diri untuk terus berkarya, tidak lain dan tidak bukan
itu karena Dee. Tetapi, ego dan harga diri yang terlampau tinggi, membuatku
susah untuk berucap jujur dihadapan Dee. Tidak mau mengakui bahwa karena
kehadirannya dalam hidupku saat ini, mampu membawa energi positif yang tidak
pernah kudapatkan sebelumnya.
Empat tahun sudah Dee dan diriku
saling mengenal, semenjak pertemuan pertama kali diperbatasan Gowa-Makassar.
Tanpa kusadari, hidupku juga semakin lengkap. Bukan hanya ada ibuku yang setia
menemani gundah hatiku, hanya karena usiaku kini 29 tahun. Bukan juga hanya ada
Bintang yang mengajarkanku tetap kuat dan berpikir jernih, dikala cobaan hidup
terus saja menyapa memberi ujian pada usia dewasaku. Tetapi, ada Dee yang
menjadi pelengkap dikala diriku membutuhkan sosok sahabat, adik, serta teman
sejati dalam melalui hari-hariku.
Biarkan
waktu yang memberi jawab atas segala keraguan arti seorang sahabat diantara
diriku dan Dee. Biarkan waktu jualah yang memberikan sempat bagiku, untuk
bertemu masa depan yang kuimpikan. Tetapi, biarkan Ibuku, bintang dan Dee yang
menemaniku melewati setiap detik pergeseran waktu itu.
Tulisan ini, kudedikasikan khusus
untuk Dee. Sosok sahabat yang sangat sabar menemaniku menghadapi hari-hari yang
sulit. Dari merangkak, berjalan tertatih hingga diri ini bisa berlari
meninggalkan masa lalu yang menyakitkan. Dee mampu meredakan amarah, sampai
mengeringkan air mataku yang keluar akibat kebodohan cara pandangku terhadap
suatu masalah.
Menyadarkanku bahwa sebuah
pernikahan bukan tercipta oleh deretan angka yang terus bertambah dan diberinama
usia oleh manusia. Tetapi, kesiapan diri untuk mengambil keputusan untuk
menikah. Karena pernikahan merupakan sebuah perjalanan, bukan sesuatu yang
terlihat indah dan hanya tercetak di sebuah undangan.
Ibuku,
Dee dan Bintang merupakan elemen pelengkap hidupku saat ini.
Huuupp... *tarik nafas dulu soalnya tulisannya kepanjangan untuk postingan blog tapi syukurlah selesai juga bacanya.
BalasHapusambil hikmahnya aja sobat atas apa yang terjadi... ngomong-ngomong, berbicara tentang Makassar, Telkom terus perbatasan Gowa, jangan-jangan rumahnya dekat dengan kos-kosanku di Alauddin?
Salam kenal yah mbak, mampir juga yah di blog sederhanaku, ditunggu loh :)
Hehehe.. cerpen kan durasi katanya dari 1.000 - 3.000 kata mas, tapi makasih udah baca.. Iya, rumahnya lewatin jalan Alauddin.. Makasih sekali lagi
BalasHapus