Selasa, 30 April 2013

TENTANG BINTANG, DEE, AKU DAN IBUKU


Selimut hitam telah menutupi langit semenjak jarum jam merangkak ke angka delapan. Cahaya kerlap-kerlip lampu jalan, menjadi pemandangan yang paling indah, dikala waktu pulang ke rumah tiba. Kaca jendela mobil angkutan umum kota seakan mampu membingkai setiap keindahan suasana malam di kota kelahiranku, Makassar. Kebisingan jalan dan hiruk pikuk orang-orang yang sedang mencari pengganjal perut pada malam hari, menjadi musik instrumen maha dasyat di pendengaranku.

            Setiap aktifitas yang tertanggap lensa mataku, selalu mampu menggerakkan syaraf di sekitar wajahku, menarik sudut-sudut bibirku, membentuk senyum dan membuat segalanya menjadi rileks. Perjalanan dari tempat kerja sambilanku ke rumah, memang terbilang cukup menghabiskan waktu. Paling cepat 30 menit, kalau macet atau ada pesta pernikahan di salah satu gedung terbesar di bilangan jalan Jenderal Sudirman, bisa sampai sejam lebih baru bisa sampai ke rumah.

            Tetapi, film dokumenter tentang kehidupan yang disuguhkan melalui kaca jendela di setiap perjalananku menuju rumah, membuatku betah berlama-lama di atas angkot. Meskipun, perpindahan dari satu frame ke frame yang satu rada cepat, namun diriku bisa menikmati setiap adegannya. Adegan tanpa suara, karena tertutupi oleh bisingnya bunyi mesin kendaraan dan lagu dangdut yang dipilih sang supir angkot.
           
Sebut saja namaku Torie, baru sekitar 5 (lima) bulan lalu, diriku balik dari Jogja setelah menempuh pendidikan D3 Teknik Elektro di Universitas terbesar dan ternama di tanah kraton, UGM. Meski saat ini, apa yang kukerjakan tidak sesuai dengan bidang ilmu yang ku enyam di bangku kuliah. Namun, setidaknya menjadi seorang pendidik juga bisa diselaraskan dengan ilmu apapun yang kita tempuh.

Khayalku kembali melayang ke masa-masa remajaku, dikala kulihat segerombolan remaja melintas di samping pete-pete (sebutan angkot di Makassar) yang sedang ngetem di depan kantor Telkom. Daya khayalku membawa ingatanku ke Tahun 2002, dimana diriku dengan modal nekat meninggalkan tanah kelahiranku untuk menempuh pendidikan di tanah Jawa. Semua permintaan Ibuku untuk melarangku berangkat, kutepis dengan seribu satu alasan yang menurut logika jiwa remajaku saat itu, kereen.

Ingin lebih mandiri menjadi alasanku paling kuat kala itu. Setelah ujian SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru), diriku dinyatakan tidak lulus yang kuketahui melalui pengumuman di koran ternyata nomor ujianku tidak kutemukan. Bujukan Ibuku untuk mengajakku pulang kembali kutepis, dengan alasan masih ada kesempatan masuk UGM, karena ujian untuk jenjang pendidikan Diploma belum dibuka. Empat orang teman kost yang juga tidak lulus UGM, ingin mencoba masuk di Universitas lain di Jogja. Ada yang memilih UMY (Universitas Muhammadiah Yogyakarta), dan ada yang ke UII (Universitas Islam Indonesia). Aku pun, lebih memilih D3 Teknik Elektro di UGM, dan akhirnya bisa juga kusandang status sebagai mahasiswi UGM setelah akhirnya semua soal ujian bisa kuselesaikan dengan baik.

Hingga akhirnya cerita cinta juga menyapaku, dikala semester satu baru saja berjalan. Pria yang lima tahun lebih tua dari usiaku, menjadi teman, sahabat, kakak, sekaligus pengganti Bapakku di tanah Rantau. Menemaniku melewati masa-masa sulit, masa-masa semangat jiwa remaja ingin membuktikan kepada orang tua bahwa diri ini bisa membuat mereka bangga.

Sambil kuliah, diriku juga menjadi asisten dosen di laboratorium di Kampus utama D3 Teknik Elektro. Mengumpulkan sedikit demi sedikit rupiah dengan niat untuk membelikan tiket pesawat kedua orang tuaku di saat wisuda nanti. Meski di semester akhir tidak begitu berjalan sesuai dengan rencana, tetapi karena semangat ingin mengukir senyum indah Ibu kembali, semua masalah-pun dapat teratasi dengan mulus.

Lulus sebagai wisudawan tercepat, menjadi satu kebanggaan yang tidak terkira harganya. Ditambah lagi bisa membantu membelikan tiket pesawat Ibu dan Bapak untuk berangkat ke Jogja dengan uang tabungan. Rasa haru menyeruak disaat ku kecup tangan kedua orang tua yang menyayangiku selama ini.

Menggunakan toga, baju kebesaran mahasiswa dan disaksikan oleh kedua orang tua dan lelaki yang selalu setia dengan rasa sayangnya kepadaku selama ini, membuatku yakin bahwa surga yang dijanjikan Allah pastinya begitu menawan. Dan, meski diriku belum di surga, tetapi rasa nyaman berselimut kebahagiaan seakaan memeluk raga dan jiwaku, dikala namaku dipanggil dipodium untuk melakukan prosesi wisuda.

Kulangkahkan kakiku dengan sangat santai, seraya menengok ke arah kedua orang tuaku yang duduk di jajaran tamu undangan. Tidak terasa, rasa hangat mengalir di kedua pipiku. Pandangan mataku menjadi tidak terlalu jelas, akibat air mata yang menggantung di pelupuk mata yang saling dorong ingin ikutan meluncur di kedua pipiku.

Setengah tahun setelah wisuda pada tahun 2005, diriku menyempatkan pulang ke Makassar. Sekaligus, untuk membantu menyebarkan undangan pernikahan kakak perempuan keduaku. Aku anak ketiga dari empat orang bersaudara, hanya adik bungsuku yang berjenis kelamin laki-laki. Kakak pertamaku telah lama menikah, di saat aku masih duduk di bangku kelas 6 SD.

Rencananya, kepulanganku kali ini, juga bermaksud untuk memperkenalkan secara resmi lelaki yang menyayangi dan menjagaku di tanah Rantau. Lelaki itu bernama Panca Agung Miluhur, lelaki berdarah biru, yang dibesarkan di Bogor. Mas Panca datang seminggu sebelum kakakku menggelar akad nikah.

Kedatangannya juga diselipkan maksud ingin meminangku, namun belum niat itu tersampaikan ke telinga kedua orang tuaku, kabar tidak mengenakkan datang dari Bogor, Ibunya sekarat dan semua keluarga sudah berkumpul. Mas Panca terpaksa pulang tergesa setelah resepsi pernikahan kakakku digelar.

Tidak sampai seminggu, kabar duka-pun sampai ditelingaku dan keluargaku, tepat pada tengah malam di tanggal yang sama di saat kota Jogja diguncang gempa yang dasyat. 27 Mei 2006, menjadi malam berduka bagi keluargaku dan keluarga Mas Panca. Kabar sedih juga datang dari teman-teman kostku yang ada di Jogja. Gempa yang terjadi pada pukul 05:55 selama 57 detik itu, telah meluluh lantahkan hampir seluruh tanah keraton.

Belum sempat diriku berpikir jernih, kabar yang tidak mengenakkan datang dari keluarga Mas Panca. Mereka membatalkan rencana untuk meminangku, karena menurut mereka budaya di tanah kelahiranku memberatkan mereka. Dan, kakak perempuannya-lah yang menelpon dan dengan tegas membatalkan seluruh rencananya yang telah disusun selama beberapa bulan terakhir oleh diriku dan Mas Panca.

Telepon genggamku berdering saat adzan Isya berkumandang dari masjid dekat rumahku dikala kulirik nama Mba Laras (kakak perempuan Mas Panca) berkedap-kedip dilayar HP Nokia 3315-ku.

“Assalamu alaikum Mba, apa kabar Mba?”

“Wa alaikum Salam Rie, maaf Mba mendadak menelpon. Sebelumnya Mba juga ingin mengucapkan maaf sebesar-besarnya kepada Torie dan keluarga.” Ujarnya terhenti. Pikiran dan perasaanku seketika menjadi kacau mendengar kata demi kata yang keluar dari speaker HP-ku.

“Maaf kenapa Mba?, memangnya apa yang salah?”

“Maaf Rie, setelah berbincang dan berdiskusi bersama keluarga, sepertinya kami tidak mampu memenuhi permintaan Torie dan keluarga untuk menjalankan prosesi pernikahan dengan adat istiadat keluarga Rie.”

Dada sebelah kiriku seketika terasa sakit, paru-paruku juga seakan tidak mampu untuk mengisap oksigen dengan benar lagi, saat mendengar penjelasan Mba Laras. Air mataku mengalir tanpa di komando, tenggorokkanku seperti tertimpa pohon dan tercekik, sehingga terasa sangat sakit. Bahkan menelan air liur-pun terasa begitu menyakitkan. Hanya isak yang bisa kukeluarkan, saat mendengar semua penjelasan yang diucapkan dengan enteng oleh Mba Laras malam itu.

“Masa kami harus menyerahkan sertifikat tanah, untuk memberi uang panai’ (syarat untuk meminang gadis berdarah Bugis-Makassar, selain mahar) saat lamaran nanti. Inikan niatan baik, kenapa keluarga Rie seakan menghalang-halangi. Kami-kan baru saja berduka, masa keluarga Rie masih memaksakan uang panai’ disertakan dalam prosesi lamaran. Masa tidak ada saling menger...,”

Ku potong kalimatnya dengan suara yang serak tertahan oleh isak.

“Keluarga Rie, tidak pernah memaksakan itu ke keluarga Mba. Kalau memang mau dibatalkan, tidak harus menyalahkan budaya yang ada ditanah kelahiranku. Tidak perlu juga menggurui keluargaku tentang toleransi. Assalamu alaikum,” kututup telepon dengan rasa marah dan isak yang pecah tak tertahan.

Malam itu, terasa menjadi malam yang begitu panjang untuk dilalui. Setiap detiknya menggoreskan rasa sakit yang tak tertahan didadaku. Ibuku berusaha menenangkanku dengan pelukannya yang hangat. Usapan lembut jemarinya disela-sela rambutku, membuat benteng pertahanan ke-ego-anku sebagai seorang manusia runtuh seketika, luluh lantah dan gontai.

Isak tangis masih tersisa dikala Mentari mencoba mengintip dan menorehkan warna jingga di langit sebelah timur kotaku. Lukisan maha sempurna yang selalu kukagumi, menambah rasa sakit didadaku.

Getaran HP ditasku, berhasil membawa jiwaku kembali ke dunia nyata, dan meninggalkan khayal yang menyedihkan jauh di sudut hatiku yang mulai terobati. Angkot yang kunaiki ternyata belum beranjak dari posisinya di depan kantor Telkom. Kucoba melihat sekeliling, tinggal 2 (dua) kursi yang belum terisi. Kubuka tas, dan mengeluarkan HP yang masih bergetar, dan dilayar kulihat nama adik laki-lakiku.

“Assalamu alaikum,”

“Rie, kamu dimana? Ini sudah hampir setengah 10. Kamu koq belum nyampe rumah,” Ternyata Ibuku. Tanpa sempat membalas salam yang kuucapkan, suara wanita yang selalu setia mendengar keluhanku tentang hidupku terdengar khawatir di seberang sana.

“Masih diangkot Ma, ini masih ngetem di depan kantor Telkom. Sekitar 15 menit lagi Rie sampai Ma,”

“Ya sudah, hati-hati, telepon jika sudah di depan ruko, biar nanti dijemput sama adek kamu,”

Belum sempat kujawab, telepon sudah ditutup. Tidak lama kemudian, angkot yang membawaku beranjak dari tempat ngetemnya.

Setahun kemudian... (2008)

Kesibukkan menemani hari-hariku, jabatan sebagai School Manager di salah satu sekolah berbahasa Inggris. Tetapi,  cita-citaku ingin menjadi seseorang yang pandai dalam dunia tulis menulis. Membuatku harus memutuskan meninggalkan anak-anak didikku dan menerima tawaran perusahaan tabloid baru yang cukup menggoda.

Namun, sayang seribu sayang.. perusahaan itu hanya berumur 3 (tiga) bulan. Tidak sempat berlama-lama menganggur, panggilan menjadi reporter di majalah internal Kodam VII/ Wirabuana menjadi angin segar.

Hari-hari sibuk-pun dengan seketika menemani setiap langkah gontaiku. Hanya cahaya bintang di sudut-sudut langit yang luas, menjadi teman setiaku melalui malam yang terkadang menyiksa jiwaku yang masih sering terasa nyeri, akibat peristiwa 2 (dua) tahun silam.

Memandang bintang, menjadi aktivitas tambahan yang selalu bisa menenangkan hati dan jiwaku melewati hari-hari yang masih terasa berat, oleh beban masa lalu. Luasnya langit mengajarkanku untuk ikut melapangkan hati yang mulai menyempit. Centilnya kerlap-kerlip bintang menumbuhkan yakinku, bahwa kehidupan tidak selamanya kelam.

Ibuku dengan sabar selalu menemaniku melakukan aktivitas tambahanku. Mengajakku bercerita apa yang terjadi setiap hari, membuatku tidak lagi tenggelam dalam kesedihan yang berkepanjangan. Kesabaran dan ketabahan ibuku mampu meredakanku dikala ego mendominasi tingkahku.

Wanita inilah yang banyak mengajarkanku arti kehidupan, lewat diamnya mendengarkan setiap cerita yang kuucapkan. Mengajakku menjadi dewasa, tanpa pernah sekalipun memaksaku untuk meninggalkan jiwa remajaku. Dia tenangkanku dengan masakan-masakan yang selalu mampu membangkitkan semangatku ‘tuk melangkah. Senyumnya memberiku keyakinan bahwa diriku mampu menggenggam dunia.

Bintang dan Ibuku, sama-sama berada diposisi yang tinggi. Sama-sama tenangkan akal dan nalarku agar dapat terus berpikir jernih. Kerlip Bintang, sama dengan senyum Ibuku yang tulus dikala langkahku terhenti di jalan yang gelap.

Teman, sahabat, dan tempat mencurahkan kepedihan hidupku adalah Ibuku, sambil memandang indahnya malam dengan bintang-bintangnya. Tidak pernah terbersit sosok sahabat seperti apa yang kuinginkan, untuk menemani langkah-langkah gontai dikala lingkungan tidak lagi bersahabat, dan disaat usia tidak lagi muda.

Tahun 2010..

            Dua tahun sudah, diriku bergelut dengan dunia jurnalis. Menulis lebih banyak artikel membawaku ke dunia yang asing, namun menyenangkan. Melupakan jalannya waktu, dan dengan cepat meninggalkan jejak-jejak usang goresan luka.
           
            Tepat pada tanggal 8 Desember 2008, di perbatasan wilayah Kabupaten Gowa dan Kota Makassar, akhirnya diriku menemukan sosok sahabat yang kuinginkan. Awak media sibuk meliput kegiatan penyambutan Perdana Menteri Malaysia, Tun Abdul Razak yang berkunjung ke tanah nenek moyangnya (karena Beliau merupakan keturunan Raja Gowa ke-16 Sultan Hasanuddin). Pertemuan yang menjadi awal dari pertemuan-pertemuan selanjutnya bagi kami.

            Sosok wanita tomboi, cuek dan sedikit angkuh inilah yang mampu membantuku untuk mendeskripsikan sosok sahabat yang tidak pernah terbayangkan olehku dulu. Panggil saja dia Dee, wanita super duper hebat dimataku ini memang pantas dijadikan sebagai seorang sahabat.

            Profesinya yang dipilihnya-pun super duper mewah menurutku, meski tidak begitu banyak wanita yang memilih profesi ini. Menenteng kamera, membawa ransel serta menguyah permen karet menjadi ciri khas dirinya.

            Pertemuan kedua kami, pada bulan Juni 2009. Beberapa hari sebelum adik laki-lakiku menggelar resepsi pernikahannya. Dee merupakan tamu undanganku yang pertama, saat diriku diberikan sekitar 10 undangan oleh ibuku.
           
“Undanglah temanmu di pesta pernikahan Adikmu,” ucap ibuku saat menyerahkan 10 undangan kosong tak bernama.

            Namun, karena kesibukannya mengejar berita, Dee tidak sempat menghadiri resepsi yang digelar pada tanggal 28 Juni 2009 di gedung Juang 45. Namun, dirinya sempat memberiku kabar lewat sms.

            Sejak saat itu, tempatku bercerita bertambah satu. Di kala Bintang tertutup dan bersembunyi di balik awan, sehingga enggan menemani malam panjangku. Dan, dikala lelah mendominasi Ibuku, sehingga tidak sempat mendengar ceritaku, kini ada Dee yang bisa tenangkan gelisahku.

            Sahabat yang hadir, bukan hanya menanyakan kabar dan kerjaku. Tetapi, sabahat yang juga mampu memberi terang dikala awan kelabu mulai datang dan menutupi sebagian pandanganku. Berbagi cerita, baik senang maupun sedih dengan gayanya yang cuek. Terkadang diriku iri melihatnya bisa tenang menghadapi hal yang paling buruk sekalipun dalam hidupnya. Tetap bisa mempertahankan jernih pikirannya disaat emosi memenuhi rongga nalar dan perasaannya.

            Hingga, saat lowongan pekerjaan dikantornya datang dan membawa langkahku untuk mencoba peruntungan di sana. Oktober 2010, menjadi awal langkahku memasuki dunia broadcasting yang sering kudengar dari cerita-cerita Dee.

            Dee adalah kameramen yang dipasangkan denganku saat itu. Lelahnya dan gelisahnya yang sering kudengar melalui cerita, kini juga menjadi teman di setiap hariku. Tetapi, kekagumanku akan sosok sahabatku ini, tidak akan pernah hilang hingga kini.

            Kelucuan, keluguan, serta kekonyolan menjadi warna lain yang hadir disaat kami sudah menjadi teman, sahabat yang bekerja dalam satu kantor. Kesensitifanku menanggapi keadaan menjadikannya harus terus berpikir lebih jernih, agar mampu membawa kejernihan yang sama dipikiranku.

            “Sudahlah kak, orang-orang hanya iri dengan apa yang kakak miliki. Jadi, percuma untuk menanggapi kejutekan dan kesinisan orang-orang sombong dan belagu tapi oon seperti mereka,” ujarnya menenangkanku disaat diriku berpikir untuk berhenti bekerja.

            Kemarahannya-pun juga bisa membangkitkan semangat yang sering kali kutepis dengan kalimat-kalimat tidak yakin. Tetapi, otak dan nalarku menerimanya menjadi satu suplemen paling ampuh yang bisa diberikan oleh seorang sahabat kepada sahabatnya yang galau.

            Dialah orang pertama yang yakin dan menularkan rasa yakin itu ke diriku, bahwa kemampuan menulisku bukan hal yang kebetulan ada dan mampir, bukan pula hal yang datang tiba-tiba tanpa bakat.

            “Teruslah menulis kak, apalagi itu sudah menjadi cita-cita kakak sejak dulu, ingin memiliki buku sendiri. Tidak semua orang diberkahi dengan bakat, dan kemampuan menggambarkan apapun dengan goresan tinta” ucapnya disaat dia menemaniku memandang Bintang di depan teras rumah.

            Keberhasilanku merangkak meninggalkan sisi gelap kehidupan yang sempat membuatku berhenti melangkah, serta meraih kepercayaan diri untuk terus berkarya, tidak lain dan tidak bukan itu karena Dee. Tetapi, ego dan harga diri yang terlampau tinggi, membuatku susah untuk berucap jujur dihadapan Dee. Tidak mau mengakui bahwa karena kehadirannya dalam hidupku saat ini, mampu membawa energi positif yang tidak pernah kudapatkan sebelumnya.

            Empat tahun sudah Dee dan diriku saling mengenal, semenjak pertemuan pertama kali diperbatasan Gowa-Makassar. Tanpa kusadari, hidupku juga semakin lengkap. Bukan hanya ada ibuku yang setia menemani gundah hatiku, hanya karena usiaku kini 29 tahun. Bukan juga hanya ada Bintang yang mengajarkanku tetap kuat dan berpikir jernih, dikala cobaan hidup terus saja menyapa memberi ujian pada usia dewasaku. Tetapi, ada Dee yang menjadi pelengkap dikala diriku membutuhkan sosok sahabat, adik, serta teman sejati dalam melalui hari-hariku.

              Biarkan waktu yang memberi jawab atas segala keraguan arti seorang sahabat diantara diriku dan Dee. Biarkan waktu jualah yang memberikan sempat bagiku, untuk bertemu masa depan yang kuimpikan. Tetapi, biarkan Ibuku, bintang dan Dee yang menemaniku melewati setiap detik pergeseran waktu itu.

            Tulisan ini, kudedikasikan khusus untuk Dee. Sosok sahabat yang sangat sabar menemaniku menghadapi hari-hari yang sulit. Dari merangkak, berjalan tertatih hingga diri ini bisa berlari meninggalkan masa lalu yang menyakitkan. Dee mampu meredakan amarah, sampai mengeringkan air mataku yang keluar akibat kebodohan cara pandangku terhadap suatu masalah.

            Menyadarkanku bahwa sebuah pernikahan bukan tercipta oleh deretan angka yang terus bertambah dan diberinama usia oleh manusia. Tetapi, kesiapan diri untuk mengambil keputusan untuk menikah. Karena pernikahan merupakan sebuah perjalanan, bukan sesuatu yang terlihat indah dan hanya tercetak di sebuah undangan.

            Ibuku, Dee dan Bintang merupakan elemen pelengkap hidupku saat ini.

2 komentar:

  1. Huuupp... *tarik nafas dulu soalnya tulisannya kepanjangan untuk postingan blog tapi syukurlah selesai juga bacanya.

    ambil hikmahnya aja sobat atas apa yang terjadi... ngomong-ngomong, berbicara tentang Makassar, Telkom terus perbatasan Gowa, jangan-jangan rumahnya dekat dengan kos-kosanku di Alauddin?

    Salam kenal yah mbak, mampir juga yah di blog sederhanaku, ditunggu loh :)

    BalasHapus
  2. Hehehe.. cerpen kan durasi katanya dari 1.000 - 3.000 kata mas, tapi makasih udah baca.. Iya, rumahnya lewatin jalan Alauddin.. Makasih sekali lagi

    BalasHapus