BEBERAPA orang terlihat
berlalu lalang di dalam ruangan yang berukuran 6x7 meter. Desain ruangan yang
berdinding putih abu-abu itu, memang seperti rumah sakit. Namun, anggapanku segera
terlunturkan dengan daftar absen ujian yang tertempel rapi di daun pintu.
**
Sejak pukul 06:30 Wita,
saya dan dua orang teman dengan mengenakan baju yang sama sudah membelah jalan
kota yang tak sepadat biasanya. Mungkin karena hari minggu, jadi jalan tak
dipenuhi dengan anak sekolah dan angkot. Si ranger merah kuhentikan di parkiran
salah satu toko alat-alat sekolah dan kantor terlengkap dan termurah di Kota
Daeng. Hari ini, semuanya lengang, para pengunjung juga tidak saling desak,
apalagi area parker yang biasanya tak mampu menampung kendaraan, kini hanya
terdapat beberapa motor dan mobil yang parker sesukanya.
Kami mengambil
keranjang dan mulai menjelajah mencari keperluan untuk kegiatan hari ini.
Menurut estimasi, ada banyak anak-anak yang akan hadir dan meramaikan kegiatan komunitas
Sahabat Indonesia Berbagi regional Makassar yang diberinama Project Berbagi
kesebelas. Acara utamanya adalah menggelar sunatan massal untuk 100 orang anak.
Sudah bisa dibayangkan akan seheboh apa kejadiannya nanti.
Setelah semua belanjaan
sudah terbeli, kami kembali memacu kecepatan di jalan raya menuju lokasi
sunatan massal akan digelar. Jalanan sudah mulai ramai, apalagi ketika
melintasi tempat peribadatan umat Nasrani. Tampak, beberapa orang mengenakan busana
yang rapi lengkap dengan riasan wajah. Begitu segar dan semangat melihat mereka
melangkahkan kaki dengan mantap menuju gereja di seberang jalan. Lamunanku harus
terusik, karena lampu lalu lintas sudah berubah warna, menandakan si ranger
merah harus kembali membelah dan mengurai kemacetan di jalan Masjid Raya.
***
Jam
di handphoneku belum menunjukkan pukul 08:00 wita, namun sudah Nampak beberapa
anak di halaman sebuah kampus yang sudah terlihat berumur. Di dalam ruangan,
beberapa relawan sudah asyik dengan pekerjaan mereka masing-masing. Kuputuskan melangkah
ke ruangan bagian dalam, tempat dimana pengeksekusian kelamin dilakukan.
Sejumlah
meja sudah ditata sedemikian rupa, dilapisi gabus tipis dan dibungkus plastik. Ada
empat relawan yang sedang memasang kantong plastik sampah di setiap sudut meja
yang sudah diberi nomor. Di sudut ruangan, ternyata sudah ada beberapa orang
yang dari tim medis yang tergabung dalam komunitas Pacica, mereka sedang
mempersiapkan sejumlah alat yang akan digunakan nanti.
Dua
orang berjalan membawa tempat-tempat yang berisikan jarum suntik dan
impul-impul kecil obat bius. Mereka membuka membuka plastik pembungkus spoit
jarum suntik, dan mulai mengisinya dengan obat bius yang akan disuntikan pada
anak-anak, sebleum proses penyunatan berlangsung.
Sunat
menurut agamaku, merupakan proses wajib yang harus dijalani baik laki-laki
maupun perempuan. Selain, sebagai tanda masuknya masa baligh, sunat juga
merupakan penyempurna ke-Islam-an bagi seorang laki-laki. Prosesnya juga harus
diawali dengan wudhu, mengucapkan dua kalimat syahadat dan pemotongan bagian
yang bisa menyebabkan penyakit, jika dibiarkan.
***
Urutan
pertama sudah memasuki ruangan, wajah-wajah yang tadinya ceria berubah menjadi
tegang dan pucat. Bukan karena suasana ruangannya yang mencekam, namun mereka
membayangkan proses sunatnya yang menyakitkan. Teriakan demi teriakan terdengar
memenuhi ruangan yang tadinya hanya diisi oleh candaan beberapa orang, membuat
beberapa anak yang sedang menunggu menjadi panik. Bukan itu saja, anak di meja
5 pun memutuskan mundur dari medan laga.
Dia menangis dan
memeluk tangan bapaknya, seakan meminta pertolongan. Tapi sayangnya, sang bapak
justru bukan membujuknya untuk pulang ke rumah, tetapi menyuruhnya naik kembali
ke atas meja yang disulap menjadi tempat tidur pasien dadakan.
“Betapa besar
perjuangan seorang lelaki untuk menjadi sempurna,” benakku ketika melihat
uraian air mata yang tumpah ruah dalam ruangan yang layaknya rumah sakit.
Tetapi pikiran itu langsung ku tepis, ini lantaran banyak juga lelaki yang
akhirnya menjadi penjahat kelamin tanpa pernah berpikir betapa sakitnya proses
penyempurnaan alat kelaminnya.
****
Ada
yang menarik dari proses penyunatan yang dilakukan, meski masih diiringi dengan
tangisan, namun yang membuatku takjub adalah tidak ada setetes darah pun yang
berceceran di lantai. Tissue yang terletak di atas meja, hanya digunakan untuk
mengeringkan keringat sang dokter atau membersihkan tangan.
Baru
saja logikaku terus mencari jawaban untuk proses sunat yang dilakukan,
terdengar perbincangan relawan yang bertugas di meja pembagian hadiah di jalan
keluar.
“Ohh
sistem sunat laser, begitu toh,” Ujar relawan yang mengenakan jilbab ungu. Entah
siapa namanya.
“Iya,
laser itu digunakan untuk mempercepat proses sunat dan rasa sakitnya. Luka yang
dihasilkan pun tidak berlumuran darah, seperti proses sunat yang konvensional. Intinya
lebih mudah,” Jelas sang relawan yang sepertinya sudah terbiasanya melihat
proses sunat ala laser.
Baru
saja terjawab kebingunganku, melintas seorang anak yang terus menangis dan
merengek di samping ibunya yang seperti sedang emosi. Dalam pikiranku, anaknya
sudah sunat dan meminta sesuatu pada sang ibu. Namun, dugaan itu kutepis
tatkala mendengar ucapan ibunya.
“kauji yang mau, terus kenapa sampai disini,
kau jadi tidak mau? Pulangka kalau menangis ko terus,” (Kamu yang mau, kenapa
sampai di tempat sunat jadi tidak mau? Saya pulang kalau kamu menangis terus)
gusar sang ibu melihat anaknya yang masih saja menangis.
Kudekati
dengan wajah cemas, alih-alih sang ibu akan memukul si anak. Mencoba membujuknya
dengan segala cara, namun si anak tetap menangis dengan suara lantang. Si ibu
menjadi tambah marah.
*****
Baru ku tahu bahwa nama si anak itu, Rani. Dia
sudah dianestesi, sebenarnya tinggal proses pemotongannya saja yang belum. Tapi,
si Rani malah melompat setelah disuntik dua kali, karena mendengar tangisan
anak di sebelahnya. Itulah asal muasal si ibu naik pitam.
Padahal.
Proses sunat tidak menghabiskan 15 menit per anak. Tetapi, karena Rani takut,
akhirnya ibunya yang tadi datang dengan rombongan harus rela tinggal dan
menunggu si anak sampai selesai disunat.
Para
dokter juga sudah memasuki waktu istirahat dan shalat, akhirnya penantian si
Rani dan ibunya semakin lama. Jejak air mata masih sangat jelas dipipinya,
gerakan jemari yang memainkan sarung yang terikat dipundaknya mengisi waktu
menunggu.
Ternyata,
si Rani yang bertubuh kurus dan kulit matang sempurna oleh matahari merupakan
anak yang berbakti pada orang tua. Ia rela bekerja diusianya yang masih belia,
membantu perekonomian keluarga. Untuk makan dan sekolah pun Ia harus bekerja,
jadi tidak ada cukup dana untuk sekedar disisikan guna keperluan sunatnya. Itulah
yang membuat hati sang ibu menjadi geram melihat anak lelakinya yang terkenal
pemberani, menjadi bernyali ciut ketika berhadapan dengan jarum suntik.
Setelah
waktu istirahat tim medis usai, ibunya kembali membujuk Rani untuk sunat. Air mata
yang tadinya kering, kini kembali membasahi kedua pipinya. Namun, karena takut
dengan ancaman ibunya, Rani yang ternyata tak seberani jiwa perjuangan hidupnya,
akhirnya pasrah dan naik di meja. Dokter kembali menyuntiknya, dan melakukan
proses sunatan dengan tetap tersenyum meski telinganya berdenging mendengar
jeritan tangis si Rani kecil.
Ketika
dokter berkata selesai, seketika senyum terlukis di wajah si Rani. Sepertinya dia
hanya takut mendengarkan teriakan anak yang berada di meja sebelah, buktinya
sekarang dia tersenyum seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Sunatan Massal
bukan hanya kegiatan bakti sosial, tetapi perwujudan nyata manusia memanusiakan
manusia.