BEBERAPA
kali mataku terusik oleh kilauan cahaya kendaraan, pedih dan menyakitkan ketika
di tengah lelap, kemudian terbangun. Masih tidak percaya, afirmasi atau
kekuatan pikiran yang kulakukan pada awal tahun 2016, hanya dalam hitungan jam
akan terwujud. Namun, perjalanan panjang yang menghabiskan 8 jam, sebenarnya
bukan sekedar untuk wisata. Tetapi, memberikan variasi impian kepada anak-anak
di Toraja Utara.
**
SELEPAS
magrib kesibukanku meningkat, mulai dari mencari baju yang ingin digunakan
hingga memasukkan semua perlengkapan yang dibutuhkan. Mama, adik lelakiku dan
si kecil Nei-nei juga terbawa kesibukan yang menyenangkan ini. Berpacu dengan
waktu padatnya lalu lintas, saya dan karibku memilih lebih cepat berkemas dan
berangkat menuju tempat berkumpul yang telah disepakati malam sebelumnya.
Bisa
dipastikan, perjalananku kali ini menyenangkan. Saya mempertaruhkan waktu
kerjaku di hari Senin, untuk mewujudkan mimpi lamaku tuk berkunjung ke tempat
wisata budaya. Nama Toraja sudah mendunia sebelum diriku fasih membaca, namun
sang pemilik waktu baru memberiku ijin setelah 32 tahun saya menunggu dengan
sabar.
Ponsel
cerdas membantu mencarikan kami jalan yang tidak padat malam ini, malam minggu
di kota yang sedang giat-giatnya berkembang, pastilah akan dipenuhi oleh kendaraan
yang ingin menikmati suasana kota. Apalagi, meski langit sedang sedikit muram
oleh tebalnya awan kelabu di setiap sisinya.
Barang
kuturunkan setelah yakin bahwa lokasi perwakilan bus yang akan kami tumpangi
sudah tepat. Tampak dua orang yang kukenal sedang berdiri di depan ruko yang
lebih terang dari ruko lainnya. Sejumlah bus berjejer rapi di halaman depan
ruko yang sangat luas. Setelah berpamitan dengan Mama, saya ikut bergabung
dengan dua teman yang sudah lebih dulu menunggu di dalam ruko.
Kami
akan pergi berlima, tadinya akan ada enam orang yang ikut serta dalam
perjalanan yang lumayan jauh ini. Lelah merupakan hal pertama yang terpikirkan,
ketika membayangkan bahwa kami akan menghabiskan malam di atas bus yang
berukuran besar itu.
Awalnya
kupikir, kami akan memulai perjalanan jauh itu dari tempatku saat ini berdiri.
Namun, ternyata khayalanku salah. Kami hanya akan naik ke dalam bus, melalui
terminal resmi yang jaraknya masih lumayan jauh jika ditempuh berjalan kaki.
Untungnya ada mobil kecil sebagai service tambahan bagi penumpang yang sudah
membeli tiket di perwakilan. Kami pun berbaur dengan kepadatan pinggiran kota
menuju terminal bus.
Terminal
tampak gelap dan sunyi, mungkin karena bukan masa liburan anak sekolah. Namun,
beberapa ruko yang berjualan makanan tetap terbuka. Kami memutuskan untuk
menyantap makan malam di kios pertama yang kami lihat, setelah turun dari
mobil. Pangsit menjadi menu yang dipilih, selain mengenyangkan pangsit dapat
membantu tubuh menjadi hangat.
***
UDARA
semakin dingin, kutarik jaket yang sedari tadi kudekap. Ku coba membuka mataku
secara perlahan, pemandangan di luar bus antar provinsi yang saya tumpangi
terlihat membiru. Itu pertanda, bahwa matahari masih malu-malu menampakkan
wujudnya di ufuk timur. Kabut putih juga masih enggan meninggalkan peraduannya,
jejak semu yang indah masih bisa terlihat di atas pepohonan.
Rumah
adat Tana Toraja menyambutku dengan penuh keanggunan, dikala sebagian besar
penumpang masih terlelap. Senyumku mengembang, kucondongkan tubuhku mendekat ke
arah kaca, hingga pipiku menyentuh dan merasakan dingin yang menusuk tulang.
Mataku seakan tak percaya, anganku saja masih mencoba menggapai realita, bahwa
sekarang tubuhku sudah berada di Tana Toraja yang jaraknya kurang lebih 330 km
dari kota Makassar.
Perjalanan
sejauh ini, kuputuskan hanya dalam hitungan jam dan tanpa berpikir dua kali. Padahal,
selepas Papa meninggal, berat rasanya pergi jauh dari rumah. Berpisah dengan
mama merupakan pilihan berat, namun kujamin bahwa perjalanan yang kulakukan
saat ini, tidak sebatas masalah wisata, tetapi perjalanan kali ini saya membawa
serta mimpiku yang ingin kutularkan pada anak-anak di Toraja Utara.
Beberapa
kali bus harus berhenti dan menurunkan penumpang, udara segar Tana Toraja
berburu masuk ke dalam bus ketika pintu di samping kiri supir di buka. Dingin,
segar bercampur dengan gonggongan anjing. Yaaa… Tana Toraja juga terkenal
dengan daerah sejuta anjing, hal itu langsung kusimpulkan ketika bus melintasi
rumah penduduk yang letaknya sangat dekat dengan jalan. Dimana-mana dan sejauh
mata memandang, anjing merupakan hewan satu-satunya dan dalam jumlah lumayan
banyak. Namun, bukan masalah anjing yang akan saya bahas dalam perjalanan kali
ini, tetapi betapa indah dan menyenangkan melakukan perjalanan yang mengikutkan
mimpiku didalamnya.
****
KAMI
turun di perempatan jalan yang entah dimana, satu yang pasti kutahu bahwa
tujuan kami selanjutnya adalah rumah kerabat salah satu teman yang berada di
daerah Sangalla. Jaraknya sekitar 24 km dari tempat kami berdiri. Menunggu menjadi
hal yang mulai akrab kami lakukan semenjak berada di Tana Toraja, untungnya
lokasi kami menunggu menjajakan pisang goreng panas. Dan, tentu saja ada anjing
si pemilik warung. Toraja tak berwarna tanpa hadirnya makhluk berbulu itu.
Rumah
adat Tana Toraja kini terpampang jelas dan dekat dihadapan kami. Padahal,
sebenarnya kantuk sedari tadi menggodaku tuk terlena, tapi alam yang eksotik
serta udara yang menyegarkan paru-paru, seakan mampu membuat setiap sel dalam
tubuhku melakukan regenerasi secara maksimal.
Ternyata
rumah adat yang sedari tadi hanya berlalu seiring jalannya mobil, ada di halaman
rumah, tempat kami beristirahat.
“Woooowww,
Allah menjawab doaku tak tanggung-tanggung,” Batinku bergemuruh sambil tak
henti ikut berpose mengabadikan gambar diri. Kami tetap percaya diri, meski
jilbab letaknya sudah tak karuan dan wajah masih sembab karena belum dibasuh
air.
Kami tak
berlama-lama di rumah tersebut. Kami memutuskan untuk mandi di tempat wisata
permandian air panas yang konon katanya bisa mengobati rematik dan pegal-pegal.
Lokasinya cukup dekat, permandian tersebut diberi nama Makula. Di tempat itu,
sudah ada 3 orang teman baru yang menunggu. Teman yang juga memiliki tujuan
yang sama berada di Toraja Utara.
Setiap
pengunjung yang ingin berendam air panas, harus menyisihkan 10 ribu rupiah. Kolam
yang airnya berwarna hijau yang berada di bagian atas itulah, terdapat pancuran
air yang mengalirkan air panas dari sumbernya langsung. Sayangnya, pengalaman
tak mengenakkan dengan air di bangku SMA, membuatku hanya terdiam di salah satu
sudut kolam tanpa berani mendekat ke sumber air panasnya. Namun, air dipinggir
kolam pun masih terasa hangat.
Saya memutuskan
untuk naik terlebih dahulu, mencoba membiarkan mataku berkeliaran memandang
hamparan sawah yang terpampang di salah satu sisi kolam air panas. Hijau, sejuk
dan mengajak paru-paruku ingin diisi lebih banyak dengan oksigen bersih. Kami tak
menghabiskan waktu lama di tempat ini, karena siang nanti merupakan awal
perjalanan kami sesungguhnya berada di Tana Toraja.
*****
PERJALANAN
menuju lokasi berkumpul tepatnya di lapangan Bakti, di tengah kota Rantepao yang
ternyata cukup jauh. Kami memutuskan untuk berhenti di salah satu lokasi wisata
alam lainnya bernama Londa. Sebuah kompleks pemakaman leluhur masyarakat Toraja
yang terletak di sebuah tebing.
Kawasan
wisata ini terletak di Desa Sandan Uai, Kecamatan Sanggalangi, kira-kira 7 km
jika Anda berangkat dari kota Rantepao. Akses jalan yang baik, memudahkan kami
sampai ke lokasi wisata Londa. Setiap pelancong akan membayar 10 ribu rupiah,
jika ingin memasuki kawasan perkuburan. Bagi yang memutuskan menunggu di luar
saja, Anda bebas dari biaya karcis masuk. Menunggu tak selamanya membosankan,
apalagi jika berada di kawasan wisata Tana Toraja. Selalu terdapat sejumlah
kios penjual souvenir khas daerah tersebut.
Saya memutuskan
untuk ikut rombongan teman-teman yang masuk dalam kawasan makam leluhur tersebut,
meski sekujur tubuhku sedari tadi sudah mengenali tanda-tanda gaib. Namun,
mencoba mempercayai sugesti yang diberikan seorang teman melalui ceritanya di
bus ketika berangkat.
“Toraja
itu, tempat destinasi makam tapi tidak menyeramkan,” Kata teman meyakinkan.
Nyatanya,
Suasana mencekam ketika melewati gerbang batu berwarna hitam berbalut lumut
tipis. Setiap orang sebenanya sudah dijemput sejumlah wanita berpakaian adat
yang berjejer di sepanjang tangga turun. Dan entah berapa banyak lagi yang
mengenakan baju yang sama. Diriku hanya mampu turun hingga tangga paling bawah,
tapi tak melanjutkan langkah menuju goa yang terdapat patung-patung para
leluhur.
Saya memutuskan
kembali ke parkiran mobil, sambil menunggu dan melihat sejumlah pelancong asing
dan domestik yang baru saja memasuki kawasan wisata Londa. Paru-paruku seakan
kosong dan kering di tempat ini.
******
SERATUS
lebih orang yang berkumpul di lapagan Bakti. Orang-orang dari berbagai daerah
dan memiliki tujuan yang sama tentunya. Kami akan membagi cerita tentang apa
yang kami kerjakan pada anak-anak Toraja Utara di 13 Sekolah Dasar. Menyenangkan,
melihat masih banyak anak muda yang tidak hanya mengeluh tentang sistem
pendidikan, tetapi mereka hadir lebih dekat untuk memberikan kontribusi nyata,
meski dengan cara sederhana yakni berbagi kisah dan pengalaman mereka di bidang
masing-masing.
Lokasi
sekolah yang kudapat merupakan lokasi kedua terjauh, harus ditempuh selama 1
jam lebih menggunakan truk. Medan yang terjal dan menegangkan cukup membuat
bajuku basah oleh keringat ketakutan.
Rantebua,
nama daerah yang menjadi tempat timku bertugas. SDN 5 Rantebua menjadi sekolah
kami besok untuk bersenang-senang membangun sebuah mimpi baru bagi anak-anak
negeri.
Perjalanan
kali ini, memang bukan hanya sebatas jauh yang membentang jarak. Tetapi,
perjalanan ini tentang membawa mimpi, mimpi yang besar untuk menopang Indonesia
10 hingga 15 tahun depan. Kami hadir untuk memberi warna pada mimpi mereka yang
biasanya seragam, karena kami tahu bahwa semua yang kami raih saat ini, dulunya
juga hanyalah mimpi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar