MENEMUKAN diri kita sudah jauh berbeda dari beberapa tahun
yang lalu, jelas membuat siapa saja akan berdecak kagum atas semua takdir yang
telah diberikan. Pun demikian denganku, pagi ini terasa indah dan tak biasa,
tidak genap satu dekade, perubahan seperti yang kuinginkan sedikit demi sedikit
terwujud dengan cara terbaik yang diberikan Allah.
Meski terkadang, semua usaha harus dibalut dengan air
mata. Bukan ingin terkesan melankolis, tetapi semua yang kudapatkan justru
ketika lelaki terkasih keluarga kami sudah tidak ada. Padahal, ingin rasanya
melihat senyum dan keceriaan wajahnya dengan semua pencapaian yang telah kuraih
saat ini.
**
TIDAK pernah terpikirkan bahwa keinginanku mengejar
ketertinggalan di dunia menulis delapan tahun lalu, sudah menampakkan hasil
yang cukup mengagumkan, apalagi bagiku yang terbilang baru dan bukan
siapa-siapa. Tak pernah berhenti hati ini mengucapkan syukur atas semua yang
telah kulalui, meskipun tak sedikit nafas harus dihembuskan dengan diiringi nyeri,
bukan karena sakit paru-paru, tetapi semuanya tidak mudah untuk didapatkan.
Pagi ini, ku buka mataku dengan sedikit terkejut, bukan
karena ada yang membangunkan, justru, sebaliknya. Kudapati tubuhku masih enggan
tuk beranjak, padahal matahari sudah cukup memancarkan sinarnya. Ini menandakan
bahwa jam dinding telah memasuki pukul 06:00 Waktu Indonesia Tengah. Semua organ
tubuhku seketika bergerak tanpa harus dikomando, bergegas memasuki kamar mandi
dan mengambil wudhu.
Shalat subuh yang telat memang kadang-kadang membuatku
menjadi sedikit tergesa, pasalnya tidak inginlah seharian diriku hanya
menyesali keteledoranku bangun telat. Tak bersimpuh di pagi hari, itu sama saja
tak menginginkan rejeki terbaik hari ini. Jadi, meski telat saya pun masih
tetap melakukan dengan tetap berharap Allah memberi rahmatNya melalui malaikat
yang masih menunggu hamba-hamba yang terlambat.
Setelah shalat subuh, diriku mencoba mengumpulkan
semangat untuk melakukan banyak hal di akhir pekan. Duduk di sofa depan pintu,
tempat dimana almarhum papa sering menghabiskan waktunya di siang hari. Mencoba
menarik benang merah atas semua yang terjadi sejak pertama kali kaki ini
kembali dijejakkan di Kota Makassar pasca kuliah di Kota Gudeg.
Orang yang selalu panik melihat diriku menghabiskan
waktu di rumah, tak lain adalah papa. Papa setiap hari membelikan koran hanya
untuk mencarikanku pekerjaan yang sesuai dengan jurusan kuliah yang ku enyam. Dapatlah
satu pekerjaan sebagai pengajar di sebuah Lembaga Pendidikan Bilingual di
bilangan Mesjid Raya. Belum cukup tiga bulan, saya mendapatkan promosi jabatan
sebagai school manager, gaji yang
lumayan dipastikan akan seimbang dengan tanggung jawab yang akan diemban. Bayangkan
saja, saya yang belum terbiasa dengan dunia pendidikan, harus mampu memimpin 12
guru lainnya dan membuat silabus.
Semuanya terjadi pada akhir 2007 hingga 2008, tak lama
memang. Ini lantaran, ada tawaran menarik untuk membuatku lebih dekat dengan
dunia tulis menulis. Akhirnya kuputuskan meninggal zona nyaman dengan gaji yang
membuai dunia. Memulai dari bawah sebagai penulis amatiran di sebuah tabloid
yang baru saja dibentuk. Sedikit tak sesuai rencana, tabloid itu dibubarkan
pasca tiga bulan. Papa hanya melihatku tak berdaya, Ia yakin keputusanku yang terkadang
terlampau ajaib.
Tak sampai sebulan menikmati suasana rumah, saya
mendapatkan pekerjaan sebagai repoter di sebuah tabloid internal milik TNI AD. Menyesuaikan
diri dengan kebiasaan dilingkup militer tak semudah yang terpikirkan, tetapi
semuanya membantu proses dunia literasi yang ingin kudalami. Suka tidak suka,
harus suka untuk dijalani.
Dan di akhir 2010, tepatnya pada bulan Oktober saya
bergabung di stasiun televisi swasta lokal pertama di Sulawesi Selatan. Dalam dunia
inilah, proses bermetamorfosis diriku menjadi penulis ditempa dan diasah. Perjalanan
tak semudah dibayangkan memang menjadi bayaran mutlak dari sebuah impian.
***
KULANGKAHKAN kakiku menuju teras, memandang langit
yang selalu membuat hatiku lebih lapang dari sebelumnya. Langit merupakan
tempat pelampiasanku atas semua takdir Allah, ketika takdirnya sedang menguji
batas iman yang kumiliki, wajah langit pasti seakan tak bersahabat. Namun sebaliknya
ketika takdir sedang menunjukan wajah senyumnya, maka langit memberiku ruang
lebih luas untuk bersyukur. Langit tak harus menunduk ataupun menengadah untuk
menunjukan dirinya ada pada dunia, itulah kenapa saya begitu mengagumi ciptaan
Allah yang satu itu.
Jika hari ini saya berhasil, bukan karena takdir
sedang berbaik hati, tetapi langit mencoba membayar janji yang tertunda. Membisikan
satu fakta bahwa usaha apapun yang dilakukan dengan serius akan membawakan
hasil diakhir perjalanannya. Maka sebelum melakukan apapun, yakin saja bahwa
itu yang terbaik untuk dilakukan.
Yeayyyy, sungguh saya terinspirasi dari kisah benang merah ini
BalasHapus