Senin, 11 Januari 2016

Si Rani, Ternyata Tak Berani




BEBERAPA orang terlihat berlalu lalang di dalam ruangan yang berukuran 6x7 meter. Desain ruangan yang berdinding putih abu-abu itu, memang seperti rumah sakit. Namun, anggapanku segera terlunturkan dengan daftar absen ujian yang tertempel rapi di daun pintu.

**
Sejak pukul 06:30 Wita, saya dan dua orang teman dengan mengenakan baju yang sama sudah membelah jalan kota yang tak sepadat biasanya. Mungkin karena hari minggu, jadi jalan tak dipenuhi dengan anak sekolah dan angkot. Si ranger merah kuhentikan di parkiran salah satu toko alat-alat sekolah dan kantor terlengkap dan termurah di Kota Daeng. Hari ini, semuanya lengang, para pengunjung juga tidak saling desak, apalagi area parker yang biasanya tak mampu menampung kendaraan, kini hanya terdapat beberapa motor dan mobil yang parker sesukanya.
Kami mengambil keranjang dan mulai menjelajah mencari keperluan untuk kegiatan hari ini. Menurut estimasi, ada banyak anak-anak yang akan hadir dan meramaikan kegiatan komunitas Sahabat Indonesia Berbagi regional Makassar yang diberinama Project Berbagi kesebelas. Acara utamanya adalah menggelar sunatan massal untuk 100 orang anak. Sudah bisa dibayangkan akan seheboh apa kejadiannya nanti.
Setelah semua belanjaan sudah terbeli, kami kembali memacu kecepatan di jalan raya menuju lokasi sunatan massal akan digelar. Jalanan sudah mulai ramai, apalagi ketika melintasi tempat peribadatan umat Nasrani. Tampak, beberapa orang mengenakan busana yang rapi lengkap dengan riasan wajah. Begitu segar dan semangat melihat mereka melangkahkan kaki dengan mantap menuju gereja di seberang jalan. Lamunanku harus terusik, karena lampu lalu lintas sudah berubah warna, menandakan si ranger merah harus kembali membelah dan mengurai kemacetan di jalan Masjid Raya.

***
            Jam di handphoneku belum menunjukkan pukul 08:00 wita, namun sudah Nampak beberapa anak di halaman sebuah kampus yang sudah terlihat berumur. Di dalam ruangan, beberapa relawan sudah asyik dengan pekerjaan mereka masing-masing. Kuputuskan melangkah ke ruangan bagian dalam, tempat dimana pengeksekusian kelamin dilakukan.
            Sejumlah meja sudah ditata sedemikian rupa, dilapisi gabus tipis dan dibungkus plastik. Ada empat relawan yang sedang memasang kantong plastik sampah di setiap sudut meja yang sudah diberi nomor. Di sudut ruangan, ternyata sudah ada beberapa orang yang dari tim medis yang tergabung dalam komunitas Pacica, mereka sedang mempersiapkan sejumlah alat yang akan digunakan nanti.
            Dua orang berjalan membawa tempat-tempat yang berisikan jarum suntik dan impul-impul kecil obat bius. Mereka membuka membuka plastik pembungkus spoit jarum suntik, dan mulai mengisinya dengan obat bius yang akan disuntikan pada anak-anak, sebleum proses penyunatan berlangsung.
            Sunat menurut agamaku, merupakan proses wajib yang harus dijalani baik laki-laki maupun perempuan. Selain, sebagai tanda masuknya masa baligh, sunat juga merupakan penyempurna ke-Islam-an bagi seorang laki-laki. Prosesnya juga harus diawali dengan wudhu, mengucapkan dua kalimat syahadat dan pemotongan bagian yang bisa menyebabkan penyakit, jika dibiarkan.

***
            Urutan pertama sudah memasuki ruangan, wajah-wajah yang tadinya ceria berubah menjadi tegang dan pucat. Bukan karena suasana ruangannya yang mencekam, namun mereka membayangkan proses sunatnya yang menyakitkan. Teriakan demi teriakan terdengar memenuhi ruangan yang tadinya hanya diisi oleh candaan beberapa orang, membuat beberapa anak yang sedang menunggu menjadi panik. Bukan itu saja, anak di meja 5 pun memutuskan mundur dari medan laga.
Dia menangis dan memeluk tangan bapaknya, seakan meminta pertolongan. Tapi sayangnya, sang bapak justru bukan membujuknya untuk pulang ke rumah, tetapi menyuruhnya naik kembali ke atas meja yang disulap menjadi tempat tidur pasien dadakan.
“Betapa besar perjuangan seorang lelaki untuk menjadi sempurna,” benakku ketika melihat uraian air mata yang tumpah ruah dalam ruangan yang layaknya rumah sakit. Tetapi pikiran itu langsung ku tepis, ini lantaran banyak juga lelaki yang akhirnya menjadi penjahat kelamin tanpa pernah berpikir betapa sakitnya proses penyempurnaan alat kelaminnya.

****
            Ada yang menarik dari proses penyunatan yang dilakukan, meski masih diiringi dengan tangisan, namun yang membuatku takjub adalah tidak ada setetes darah pun yang berceceran di lantai. Tissue yang terletak di atas meja, hanya digunakan untuk mengeringkan keringat sang dokter atau membersihkan tangan.
            Baru saja logikaku terus mencari jawaban untuk proses sunat yang dilakukan, terdengar perbincangan relawan yang bertugas di meja pembagian hadiah di jalan keluar.
            “Ohh sistem sunat laser, begitu toh,” Ujar relawan yang mengenakan jilbab ungu. Entah siapa namanya.
            “Iya, laser itu digunakan untuk mempercepat proses sunat dan rasa sakitnya. Luka yang dihasilkan pun tidak berlumuran darah, seperti proses sunat yang konvensional. Intinya lebih mudah,” Jelas sang relawan yang sepertinya sudah terbiasanya melihat proses sunat ala laser.
            Baru saja terjawab kebingunganku, melintas seorang anak yang terus menangis dan merengek di samping ibunya yang seperti sedang emosi. Dalam pikiranku, anaknya sudah sunat dan meminta sesuatu pada sang ibu. Namun, dugaan itu kutepis tatkala mendengar ucapan ibunya.
            kauji yang mau, terus kenapa sampai disini, kau jadi tidak mau? Pulangka kalau menangis ko terus,” (Kamu yang mau, kenapa sampai di tempat sunat jadi tidak mau? Saya pulang kalau kamu menangis terus) gusar sang ibu melihat anaknya yang masih saja menangis.
            Kudekati dengan wajah cemas, alih-alih sang ibu akan memukul si anak. Mencoba membujuknya dengan segala cara, namun si anak tetap menangis dengan suara lantang. Si ibu menjadi tambah marah.

*****
             Baru ku tahu bahwa nama si anak itu, Rani. Dia sudah dianestesi, sebenarnya tinggal proses pemotongannya saja yang belum. Tapi, si Rani malah melompat setelah disuntik dua kali, karena mendengar tangisan anak di sebelahnya. Itulah asal muasal si ibu naik pitam.
            Padahal. Proses sunat tidak menghabiskan 15 menit per anak. Tetapi, karena Rani takut, akhirnya ibunya yang tadi datang dengan rombongan harus rela tinggal dan menunggu si anak sampai selesai disunat.
            Para dokter juga sudah memasuki waktu istirahat dan shalat, akhirnya penantian si Rani dan ibunya semakin lama. Jejak air mata masih sangat jelas dipipinya, gerakan jemari yang memainkan sarung yang terikat dipundaknya mengisi waktu menunggu.
            Ternyata, si Rani yang bertubuh kurus dan kulit matang sempurna oleh matahari merupakan anak yang berbakti pada orang tua. Ia rela bekerja diusianya yang masih belia, membantu perekonomian keluarga. Untuk makan dan sekolah pun Ia harus bekerja, jadi tidak ada cukup dana untuk sekedar disisikan guna keperluan sunatnya. Itulah yang membuat hati sang ibu menjadi geram melihat anak lelakinya yang terkenal pemberani, menjadi bernyali ciut ketika berhadapan dengan jarum suntik.
            Setelah waktu istirahat tim medis usai, ibunya kembali membujuk Rani untuk sunat. Air mata yang tadinya kering, kini kembali membasahi kedua pipinya. Namun, karena takut dengan ancaman ibunya, Rani yang ternyata tak seberani jiwa perjuangan hidupnya, akhirnya pasrah dan naik di meja. Dokter kembali menyuntiknya, dan melakukan proses sunatan dengan tetap tersenyum meski telinganya berdenging mendengar jeritan tangis si Rani kecil.
            Ketika dokter berkata selesai, seketika senyum terlukis di wajah si Rani. Sepertinya dia hanya takut mendengarkan teriakan anak yang berada di meja sebelah, buktinya sekarang dia tersenyum seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Sunatan Massal bukan hanya kegiatan bakti sosial, tetapi perwujudan nyata manusia memanusiakan manusia.  

8 komentar:

  1. Hmmm..nama Rani, kayak nama perempuan yah. hehehe. Satu saran saya, ceki-ceki typo.

    BalasHapus
  2. Halo, Kak Riri. Semoga weekendnya menyenangkan :)
    Langsung saja, hehe.

    Penulisan nama hari pakai huruf kapital.
    Penulisan kata baku dicek lagi.
    Penggunaan kata depan 'di' ada yang belum tepat.

    BalasHapus
  3. Maaf kak Riri sudah terwakili semua oleh Bunda Bunga dan Nur.

    Salam sayang,
    Ica

    BalasHapus
  4. Minggu lalu beberapa anak-anak berkumpul di Rappocini karena mau berangkat bareng untuk ganti perban. Menguping pembicaraan mereka saya jadi tertawa. Salah satu anak berkata "Deh, kita ka satu kali jaki sakit. Pas disunnat ji. Kalau perempuan ka banyak kali. Disunnat tommi, melahirkan tommi" hahahah

    BalasHapus
  5. Haii Kak Riri semoga selalu dalam lindungan Allah SWT

    Apa yang ingin wiwi sampaikan sudah terwakili samam Bunda dan Kak Hajrah :*

    BalasHapus
  6. Satu ji mau kutanya Kak Riri, yang di paragraf 10, yang bagian kata "membujuk nya" dan "menyuruhnya". Kalau saya baca berulang-ulang sepertinya bagus kalau ditukarki penempatan kedua kata itu atau diganti kata "membujuknya" menjadi "membiarkannya".

    Satu lagi Kak, parker atau parkir?

    Eh, satu lagi Kak. Benar-benar terakhirmi ini, bisaki atur ulangki bagian pemberi komentarnya supaya bisa ditulis sensiri siapa yang kasi' komen. Malu-maluka bela sama nama e-mail ku.

    Salam hangay,

    Uchi Fauziah

    BalasHapus
  7. Awalnya saya mengira Rani itu perempuan dari judulnya. Jadi kaget ada perempuan ikut sunat massal.

    BalasHapus