Kamis, 22 Januari 2015

NBS Part2 – Pertemuan 7 - Mengenalkan Rasa Tanggung Jawab Sebelum Bercita-cita



            Apa yang terbayangkan, ketika seseorang menanyakan tentang cita-cita saat kalian masih duduk di bangku SD? Pertanyaan itu, sempat membuatku ragu tuk melangkahkan kaki menuju pertemuan 7 “Nulis Bareng Sobat – part 2” yang digelar seminggu sebelum liburan anak sekolah, tepatnya tanggal 20 Desember 2014.
            Pertanyaan yang sebenarnya akan mudah dijawab oleh anak-anak jaman sekarang. Tapi cukup sulit jika itu ditanyakan ketika usiaku masih seumuran mereka. Tapi, rasa penasaran yang cukup besar membuat adrenalinku terpacu untuk mengambil keputusan, bahwa saya harus melakukan sesuatu sebelum menggaungkan tema pekan ini di depan kelas.
            Cuaca cukup bersahabat, ketika motor yang membawaku menuju SD Paccinang berlari dengan kecepatan normal di punggung ular beton yang kerap berlubang di waktu penghujan di ujung tahun. Khayalku melayang membayangkan suasana kelas, apalagi hari ini tim A Makassar bukan hanya datang membagi ilmu ke anak-anak kelas 4. Kami menyiapkan bahan untuk membuat Majalah dinding yang kami berinama ETALASE KATA.
            Memberikan nama ETALASE KATA pada mading yang akan kami buat hari ini, cukup merangkum semua ide para relawan NBS yang mulai bingung menentukan nama besar untuk kumpulan karya anak-anak. Ibarat sedang memamerkan karya di sebuah pameran seni, tulisan itu dimaksudkan untuk dipajang di kelas sebagai bukti pada orang tua siswa, ketika berkunjung pekan depan mengambil hasil belajar selama 1 semester anak-anak mereka.
            Halaman sekolah tampak ramai dipenuhi oleh beragam aktivitas kala motor diparkir di halaman sekolah. Biasanya, kami para relawan datang ketika jam istirahat dan pulang sekolah bagi anak kelas 1 dan 2 sedang berlangsung. Semuanya berseragam pramuka, seperti biasa di hari-hari sabtu yang lainnya.
            Baru Icha yang tampak menunggu dengan tenang di dalam kelas. Saya dan Dede melangkah dengan sedikit pelan, karena berusaha menghindari beberapa anak-anak yang terus saja berlari dan kejar-kejaran. Pertemuan kali ini, ada beberapa wajah yang asing kulihat, mungkin karena pertemuan yang ke 6 diriku tidak sempat hadir. Ada Sari dan Ismud, teman Icha yang ingin ikut membantu dan mengambil bagian dalam kegiatan NBS.
            Belum sempat ku buka kelas secara resmi, tampak Vivi dari kejauhan melangkah agak cepat menuju kelas sambil menenteng tasnya dan kantong plastik. Kelas dimulai dengan sebuah permainan. Permainan yang kusiapkan untuk mengajarkan anak-anak tentang tanggung jawab.
            Nama permainannya “Berbisik Dan Menulis.” Hasilnya akan ditulis di secarik kertas yang hanya dibagikan pada siswa yang dipilih. Mereka yang tidak mendapatkan kertas, harus mempersiapkan telinga mereka untuk mendengarkan, apa yang dibisikkan oleh kawannya. Begitu seterusnya hingga ke anak yang mendapatkan kertas. Tugas akhirnya, mereka yang memegang kertas harus menuliskan kalimat apa yang berhasil mereka dengar. Permainan yang seru, tapi kami mencoba untuk menanamkan nilai-nilai kejujuran dan tanggung jawab.
            Siapa bilang yang tidak mendapatkan kertas itu tugasnya ringan? Justru sebenarnya mereka itulah yang harus bertanggung jawab, ketika para pemegang kertas menuliskan kalimat yang salah. Hal inilah yang terjadi ketika kelompoknya Ramadhani menuliskan kalimat yang salah. Kami berusaha mencari siapa si biang kerok yang memutuskan mata rantai kalimat yang dibisikkan pada orang pertama. Ternyata baru orang kedua, kesalahan kata sudah terjadi. Itulah sebabnya, hasil kalimat yang ditulispun keliru.
            Ketika mendapatkan orang yang harus bertanggung jawab, maka sesungguhnya permainan sesungguhnya baru dimulai. Disinilah waktunya menyisipkan semua profesi yang bisa dijadikan cita-cita di masa depan mereka, kami berikan. Tentu saja, melalui sebuah permainan tebak gaya dan menyebutkan profesi apa yang sedang mereka lakoni.
            Kelas cukup antusias mengikuti permainan ini. Terlihat dari cara mereka menyepakati peraturan saat ingin berpartisipasi. Cukup mengangkat tangan tanpa mengeluarkan suara. Siapapun yang bersuara, permainan dianggap batal.
Deni anak yang bersedia menjalani hukuman atau lebih tepatnya dihukum, karena sudah membuat 7 orang teman sesudahnya menyampaikan pesan yang salah. Ia naik dengan sedikit malu-malu. 7 orang yang salah sama dengan 7 kali memperagakan profesi di depan kelas tanpa bersuara, cukup menggerakkan anggota tubuh.
Baru 2 profesi yang tertebak, ternyata banyak anak yang ingin merasakan berada di depan kelas untuk menjadi si peraga. Saya pun berinisiatif untuk mengganti si Deni dengan perempuan kecil yang duduk di tengah. Perempuan yang baru kali ini, terlihat menikmati permainan. Tetapi diluar dugaan, sebuah protes ditayangkan kepadaku oleh Deni.
“Bu, saya membuat 7 temanku salah. Peraturannya 7 kali saya harus memperagakan. Kenapa baru 2 kali, ibu sudah mengganti saya dengan dia?” ujar Deni sambil menunjuk ke arah si perempuan mungil yang masih memasang wajah ceria.
“Kita gantian saja ya? Soalnya teman-temannya juga mau ikut menjadi peraga di permainan ini.” Bujukku menenangkan.
Pikirku dengan bujukkan semuanya bisa selesai. Tapi, satu kalimat yang membuatku terdiam dan kemudian tersenyum. Permainan ini berhasil menanamkan sesuatu pada anak-anak, meski hanya pada sosok Deni.
“Tapi bu, saya yang harus bertanggung jawab. Saya yang sudah buat teman yang lain salah bu. Bukan dia. Saya yang harus menyelesaikan permainannya. Teman-teman cukup menebak saja,” jelas Deni sambil tertunduk.
Tapi, karena durasi, saya harus memutuskan. Meski memang tidak adil, tapi semua orang harus berani berdiri di depan dan bermain. Deni akhirnya mengerti, ketika kujelaskan bahwa apa yang Ia lakukan dan katakan sudah benar. Makanya, bisakah kita bermain dengan melibatkan beberapa murid.
Murid Cewek Yang Menggantikan Deni
“Deni masih bisa ikut bermain dengan menjawab, bagaimana?”
Selesai permainan, tugaspun kuberikan. Terkait cita-cita yang mereka inginkan ketika besar nanti. Setelah itu, Vivi, Ismud dan Dede membantu membagikan kertas berbentuk unik. Kertas yang disiapkan Vivi untuk dipajang di ETALASE KATA hari ini.
Murid Mengerjakan Tugas
Murid Mengerjakan Tugas
Icha dan Sari tampak sibuk memeriksa PR dan memberikan penilaian pada tulisan setiap anak. Mereka berdua mendapatkan tugas, memberikan tulisan terkait kemajuan apa saja yang sudah dicapai oleh anak-anak kelas 4 A SD Paccinang. Ini lantaran, Bu Yusmira selaku wali kelasnya berniat memasukkan nilai mereka pada kegiatan ekstrakulikuler anak-anak.
Tugas mengajar dan berbagi usai tanpa hambatan. Inilah saatnya, kami relawan NBS menyiapkan bahan membuat ETALASE KATA menjadi sempurna. Sehingga, dapat dipajang pada saat penerimaan raport yang dilaksanakan pekan depan.
Setiap pekan, banyak hal yang terus kudapatkan. Bukan hanya anak-anak kelas 4 yang mengalami perkembangan yang pesat. Tapi, kami para relawanpun merasakan hal yang sama. NBS bukan hanya program yang bertujuan untuk menanamkan kebiasaan menulis, tetapi NBS mengajak kami, para relawan harus berpikir lebih kreatif untuk membantu anak-anak ini menjadi seperti apa yang mereka inginkan di masa yang akan datang.
Satu kata yang bisa menggambarkan pertemuan minggu ini, “Awesome”  
           


1 komentar: