Apa yang terbayangkan, ketika
seseorang menanyakan tentang cita-cita saat kalian masih duduk di bangku SD? Pertanyaan
itu, sempat membuatku ragu tuk melangkahkan kaki menuju pertemuan 7 “Nulis
Bareng Sobat – part 2” yang digelar seminggu sebelum liburan anak sekolah,
tepatnya tanggal 20 Desember 2014.
Pertanyaan yang sebenarnya akan
mudah dijawab oleh anak-anak jaman sekarang. Tapi cukup sulit jika itu
ditanyakan ketika usiaku masih seumuran mereka. Tapi, rasa penasaran yang cukup
besar membuat adrenalinku terpacu untuk mengambil keputusan, bahwa saya harus
melakukan sesuatu sebelum menggaungkan tema pekan ini di depan kelas.
Cuaca cukup bersahabat, ketika motor
yang membawaku menuju SD Paccinang berlari dengan kecepatan normal di punggung
ular beton yang kerap berlubang di waktu penghujan di ujung tahun. Khayalku melayang
membayangkan suasana kelas, apalagi hari ini tim A Makassar bukan hanya datang
membagi ilmu ke anak-anak kelas 4. Kami menyiapkan bahan untuk membuat Majalah
dinding yang kami berinama ETALASE KATA.
Memberikan nama ETALASE KATA pada mading
yang akan kami buat hari ini, cukup merangkum semua ide para relawan NBS yang
mulai bingung menentukan nama besar untuk kumpulan karya anak-anak. Ibarat sedang
memamerkan karya di sebuah pameran seni, tulisan itu dimaksudkan untuk dipajang
di kelas sebagai bukti pada orang tua siswa, ketika berkunjung pekan depan
mengambil hasil belajar selama 1 semester anak-anak mereka.
Halaman sekolah tampak ramai
dipenuhi oleh beragam aktivitas kala motor diparkir di halaman sekolah. Biasanya,
kami para relawan datang ketika jam istirahat dan pulang sekolah bagi anak
kelas 1 dan 2 sedang berlangsung. Semuanya berseragam pramuka, seperti biasa di
hari-hari sabtu yang lainnya.
Baru Icha yang tampak menunggu
dengan tenang di dalam kelas. Saya dan Dede melangkah dengan sedikit pelan,
karena berusaha menghindari beberapa anak-anak yang terus saja berlari dan
kejar-kejaran. Pertemuan kali ini, ada beberapa wajah yang asing kulihat,
mungkin karena pertemuan yang ke 6 diriku tidak sempat hadir. Ada Sari dan
Ismud, teman Icha yang ingin ikut membantu dan mengambil bagian dalam kegiatan
NBS.
Belum sempat ku buka kelas secara
resmi, tampak Vivi dari kejauhan melangkah agak cepat menuju kelas sambil
menenteng tasnya dan kantong plastik. Kelas dimulai dengan sebuah permainan. Permainan
yang kusiapkan untuk mengajarkan anak-anak tentang tanggung jawab.
Nama permainannya “Berbisik Dan Menulis.”
Hasilnya akan ditulis di secarik kertas yang hanya dibagikan pada siswa yang
dipilih. Mereka yang tidak mendapatkan kertas, harus mempersiapkan telinga
mereka untuk mendengarkan, apa yang dibisikkan oleh kawannya. Begitu seterusnya
hingga ke anak yang mendapatkan kertas. Tugas akhirnya, mereka yang memegang
kertas harus menuliskan kalimat apa yang berhasil mereka dengar. Permainan yang
seru, tapi kami mencoba untuk menanamkan nilai-nilai kejujuran dan tanggung
jawab.
Siapa bilang yang tidak mendapatkan
kertas itu tugasnya ringan? Justru sebenarnya mereka itulah yang harus
bertanggung jawab, ketika para pemegang kertas menuliskan kalimat yang salah. Hal
inilah yang terjadi ketika kelompoknya Ramadhani menuliskan kalimat yang salah.
Kami berusaha mencari siapa si biang kerok yang memutuskan mata rantai kalimat
yang dibisikkan pada orang pertama. Ternyata baru orang kedua, kesalahan kata
sudah terjadi. Itulah sebabnya, hasil kalimat yang ditulispun keliru.
Ketika mendapatkan orang yang harus
bertanggung jawab, maka sesungguhnya permainan sesungguhnya baru dimulai. Disinilah
waktunya menyisipkan semua profesi yang bisa dijadikan cita-cita di masa depan mereka,
kami berikan. Tentu saja, melalui sebuah permainan tebak gaya dan menyebutkan
profesi apa yang sedang mereka lakoni.
Kelas cukup antusias mengikuti
permainan ini. Terlihat dari cara mereka menyepakati peraturan saat ingin
berpartisipasi. Cukup mengangkat tangan tanpa mengeluarkan suara. Siapapun yang
bersuara, permainan dianggap batal.
Deni
anak yang bersedia menjalani hukuman atau lebih tepatnya dihukum, karena sudah
membuat 7 orang teman sesudahnya menyampaikan pesan yang salah. Ia naik dengan
sedikit malu-malu. 7 orang yang salah sama dengan 7 kali memperagakan profesi
di depan kelas tanpa bersuara, cukup menggerakkan anggota tubuh.
Baru
2 profesi yang tertebak, ternyata banyak anak yang ingin merasakan berada di
depan kelas untuk menjadi si peraga. Saya pun berinisiatif untuk mengganti si
Deni dengan perempuan kecil yang duduk di tengah. Perempuan yang baru kali ini,
terlihat menikmati permainan. Tetapi diluar dugaan, sebuah protes ditayangkan
kepadaku oleh Deni.
“Bu,
saya membuat 7 temanku salah. Peraturannya 7 kali saya harus memperagakan. Kenapa
baru 2 kali, ibu sudah mengganti saya dengan dia?” ujar Deni sambil menunjuk ke
arah si perempuan mungil yang masih memasang wajah ceria.
“Kita
gantian saja ya? Soalnya teman-temannya juga mau ikut menjadi peraga di permainan
ini.” Bujukku menenangkan.
Pikirku
dengan bujukkan semuanya bisa selesai. Tapi, satu kalimat yang membuatku
terdiam dan kemudian tersenyum. Permainan ini berhasil menanamkan sesuatu pada
anak-anak, meski hanya pada sosok Deni.
“Tapi
bu, saya yang harus bertanggung jawab. Saya yang sudah buat teman yang lain
salah bu. Bukan dia. Saya yang harus menyelesaikan permainannya. Teman-teman
cukup menebak saja,” jelas Deni sambil tertunduk.
Tapi,
karena durasi, saya harus memutuskan. Meski memang tidak adil, tapi semua orang
harus berani berdiri di depan dan bermain. Deni akhirnya mengerti, ketika
kujelaskan bahwa apa yang Ia lakukan dan katakan sudah benar. Makanya, bisakah
kita bermain dengan melibatkan beberapa murid.
Murid Cewek Yang Menggantikan Deni |
“Deni
masih bisa ikut bermain dengan menjawab, bagaimana?”
Selesai
permainan, tugaspun kuberikan. Terkait cita-cita yang mereka inginkan ketika
besar nanti. Setelah itu, Vivi, Ismud dan Dede membantu membagikan kertas
berbentuk unik. Kertas yang disiapkan Vivi untuk dipajang di ETALASE KATA hari
ini.
Murid Mengerjakan Tugas |
Murid Mengerjakan Tugas |
Icha
dan Sari tampak sibuk memeriksa PR dan memberikan penilaian pada tulisan setiap
anak. Mereka berdua mendapatkan tugas, memberikan tulisan terkait kemajuan apa
saja yang sudah dicapai oleh anak-anak kelas 4 A SD Paccinang. Ini lantaran, Bu
Yusmira selaku wali kelasnya berniat memasukkan nilai mereka pada kegiatan
ekstrakulikuler anak-anak.
Tugas
mengajar dan berbagi usai tanpa hambatan. Inilah saatnya, kami relawan NBS
menyiapkan bahan membuat ETALASE KATA menjadi sempurna. Sehingga, dapat
dipajang pada saat penerimaan raport yang dilaksanakan pekan depan.
Setiap
pekan, banyak hal yang terus kudapatkan. Bukan hanya anak-anak kelas 4 yang
mengalami perkembangan yang pesat. Tapi, kami para relawanpun merasakan hal
yang sama. NBS bukan hanya program yang bertujuan untuk menanamkan kebiasaan
menulis, tetapi NBS mengajak kami, para relawan harus berpikir lebih kreatif
untuk membantu anak-anak ini menjadi seperti apa yang mereka inginkan di masa
yang akan datang.
Satu
kata yang bisa menggambarkan pertemuan minggu ini, “Awesome”
Gamesnya seru!
BalasHapus