Senja
Di Kotaku
“Benarkah cinta itu sesempurna pikiran
manusia yang sedang jatuh cinta? Ataukah memang tidak ada cinta yang sempurna
untuk manusia? Teruslah mencari cinta, meski harus meninggalkan zona yang
membuatmu nyaman”
Sepenggal percakapan yang cukup
menguras waktu dan pikiran. Padahal, jika menyoal tentang cinta, aku bukanlah
tergolong lelaki yang kurang beruntung, Tuhan memberikan kelebihan yang cukup
menolongku mencari seseorang yang mau mencintaiku. Wajahku bisa dikategorikan
tampan, tubuhku jangkung, dan dibalut dengan kulit yang sedikit eksotis dan
terawat.
Namun, apakah benar wajah seseorang
bisa menjamin akan merasakan cinta sejati dengan cepat? Buktinya, sudah cukup
banyak wanita yang pernah singgah dan bertahta di hatiku, tapi belum ada satu
orang pun yang mampu menaklukkan keegoisanku yang terkadang harus dikontrol
lebih oleh makhluk yang disebut wanita.
Sering aku merasa, wajah yang tampan
ini sebagai “kutukan” yang tidak cocok untuk menaklukan kata cinta. Di kala,
cinta sedang bersemi di hati, kenapa mata dan hatiku masih kerap kali
menginginkan orang lain tuk ikut bertahta, menemani kesendirian yang tak
bertepi ini. Terdengar cukup egois memang, ketika ada keinginan dalam diriku
untuk memiliki lebih dari satu wanita.
Usiaku memang sudah terbilang
matang, lantas, kenapa tingkat keseriusanku membina hubungan masih berada di
level dasar? Buktinya, beberapa teman yang kesannya masih kekanakan mampu memutuskan
untuk bisa hidup dan mempersembahkan cintanya hanya pada seorang wanita saja.
OK, kalau masalah cinta mungkin itu
bukan ranaku untuk bertaruh. Ini lantaran, dewi fortuna masih enggan
mengibaskan sayapnya ke arahku dan menggerakkan hati sang wanita, yang entah
saat ini masih singgah di hati lelaki mana?
Jika ditanya, siapa lelaki paling
tampan di lingkungan kantor, tanpa rasa cangkung, mungkin aku yang terpilih.
Tetapi, mungkin sebatas pikiranku saja sih. Buktinya, hingga saat ini, hanya
segelintir teman dekat yang memang enak diajak jalan dan bersantai disuatu tempat,
itupun mereka semuanya berkelamin laki-laki. Sama sepertiku, mereka memiliki
pacar, namun masih sering menginginkan wanita lain.
Pernah ada wanita yang hadir dan
membuatku hampir memutuskan untuk mengakhiri masa kesendirianku. Jejak wanita
itu, masih terlihat jelas ketika tubuhku ku ajak untuk menengok ke belakang. Meski,
beberapa wanita sempat membuat hatiku merasakan getaran halus, ternyata tidak
cukup untuk bisa menghapus sepenuhnya jejak itu.
“Itukah yang dinamakan cinta
sejati?” pikiran itu yang kerap merasukiku dan menguasai pikiranku, dikala
selimut malam telah dibentangkan oleh sang kuasa dan jiwa-jiwa manusia sudah
tertidur lelap, ragaku masih berusaha mencari sesuatu yang hingga kini entah
apa jawabannya. Cintakah yang sedang aku cari saat ini?
Genta Is Blue
Kebanyakan orang lebih mengenalku si
penyuka biru. Sampai-sampai namaku selalu disandingkan dengan warna itu. Mereka
menyebutnya dengan Genta Is Blue. Padahal, jauh dilubuk hati, bukan hanya biru
yang ku sukai, hitam juga demikian.
Kecintaanku terhadap hitam, juga
tidak terkalahkan dengan biru yang adem. Hitam membuatku merasa lebih percaya
diri ketika melakukan sesuatu. Hitam adalah gambaran diriku sesungguhnya. Warna
yang tak tertebak dan bisa cocok dengan semua corak yang disandingkan
dengannya.
Kesan mistis akan hilang, ketika aku
yang mengenakan hitam. Biasanya jauh lebih terkesan elegan dan memberikan aura
yang membuatku nyaman. Bisa merasakan menjadi diri sendiri.
“Genta, boleh minta tolong untuk
dibuatkan lapo….,” Jeni tidak melanjutkan kalimatnya ketika melihat wajah Genta
yang tak berubah dan tak bergeming.
“Gentaaa…GEntaaaaaaa….”
“Yaaaa, iyaaa.. kenapa? Ada apa ya?
Kenapa Jen?”
“Subhanallah, Genta…. Dari tadi Jeni
ngomong ga didengar toh?”
“Ngomong apa ya? Masa sih? Kapan
ngomongnya?”
“Kalau lagi ga konsen mending istirahat dulu sana.” Jeni meninggalkan Genta
yang masih bingung dan bersalah.
“Kenapa sih? Koq tadi saya bengong?”
Genta menyesali tingkahnya yang selalu tak bisa menguasai dirinya, ketika
berhadapan dengan Jeni. Jeni adalah teman sekaligus sahabat wanitanya yang
setia mendengar keluhannya. Namun, entah sejak kapan Genta sudah jarang lagi
bercanda ataupun sekedar berbincang ringan dan tenang dengan Jeni.
Padahal, wanita inilah yang
menyadarkanku tentang cinta dan mencintai. Cinta yang katanya tidak harus
dimiliki, cukup melihat orang yang dicintai sedang berbahagia saja, sudah cukup
melahirkan rasa bahagia. Wanita yang cukup tangguh dan tak terjamah.
Aku pun merasakan kerdil jiwa ketika
berada di dekatnya. Tatapannya membuatku luluh dan menjadi lupa diri. Hingga
kini, tatapannya masih belum sanggup ku tangkis dengan hanya sekedar membalas
tatapannya. Matanya yang setajam elang, membuatku merasa terpenjara dan tak
berkutik ketika lensa retinanya menangkap bayangku didalamnya.
Perasaan ini hadir sekitar 2 tahun
lalu, tapi masih tak sanggup tuk ku ungkapkan. Tidak ada alasan yang membuatku
juga yakin, bahwa getar yang hadir ketika dirinya disampingku bisa disebut
dengan cinta. Mungkin saja, semuanya hanya akan indah ketika kita berdua saling
menjaga jarak.
Noon At Café
Seperti biasa, ketika kerjaan sudah
kelar. Aku dan sejumlah kawan di kantor kerap kali menghabiskan waktu di
sejumlah tempat. Sekedar untuk mengisi perut yang minta diberikan asupan
ataupun untuk mengisi waktu kesendirianku, setelah melepaskan diri dari cinta
bersama wanita berwajah manis.
Memasuki café yang berada di salah
satu sudut kota yang ramai, terkadang membuatku tidak nyaman. Bertemu
orang-orang yang berasal dari masa lalu, kerap menarik paksa diriku untuk masuk
ke dalam kenangan, dimana wanita yang paling kucintai itu juga berada. Apakah
ini yang dinamakan “Gagal Move On.”
“Bram mau pesan apa?” Tanya Roki
membawaku kembali ke ruangan café yang cukup ramai di malam hari.
“Coklat susu dan roti saja.” Bram
sambil menyerahkan daftar menu ke tangan Roki.
“Kentang goreng enak nih kayaknya,”
Denis mengusulkan menu yang bisa mengganjal rasa lapar, di penghujung
pergantian warna langit.
“Gen.. pesan apa?” Roki yang
bertugas mencatat memang sedikit lebih ribut dari yang lainnya malam itu.
“Donat coklat dan Nescafe deh?”
Genta menjawab dengan asal dan tidak bersemangat.
Ketika Roki berdiri melepas jaket
dan melambaikan tangan ke salah satu pelayan café, ternyata ada beberapa wanita
yang sudah memperhatikan keberadaan kami sejak tadi. Sayup-sayup terdengar perbincangan
mereka tentang keberadaan kami, para lelaki bujang yang tak tentu arah.
Ada rasa bangga juga sih,
diperbincangkan oleh para wanita. Namun, di sisi lain, kehadiran wanita seperti
itu sudah terlalu banyak dan terlalu sering kujumpai. Awalnya, akupun terbuai
oleh rasa kagum mereka. Tetapi, lama kelamaan, semua rasa kagum itu hanya
seperti bumbu yang ditambahkan ke dalam masakan yang sudah diberikan garam
sebelumnya. Rasanya menjadi mengerikan, lebih tepatnya terkesan seperti
kutukan. Kutukan bagi wajahku yang tampan dan postur tubuhku yang jangkung.
Ketika Kata “Cinta” itu Kuraih
Ku buka secarik kertas yang pernah
diberikan oleh wanita. Wanita yang tidak lain dan tidak bukan adalah Jeni. Jeni
adalah wanita yang jauh dari kesan glamour, wanita yang bersahaja dan sedikit
cuek. Wanita yang hingga saat ini, memiliki ruang khusus di hatiku. Melengkapi
setiap hari yang kulalui, dan mengisi setiap kekosongan jiwa yang kurasakan.
Ketika
cinta menuntut kesempurnaan,
Semua
rasa akan menjadi hambar,
Biarlah
Ia berdansa dengan melodi di atas nadi kehidupan.
Bukan
bermaksud memainkan takdir,
Melainkan
mencoba menegur sukma yang terdiam.
Ketika
cinta sudah mengajarkan bahasa,
Semua
indera akan menyambut dengan getaran.
Merindu,
Ibarat memadukan
dua rasa ke dalam sebuah wadah tak bertuan,
Tak perlu
meminta ijin,
Tak perlu malu
tuk berucap.
Karna hadir
sudah bisa memberi tanya akan jawab.
Aku pun menyadari satu hal, bahwa
ketika cinta yang dicari di tempat sejauh apapun, bahkan hingga mengelilingi
dunia, semuanya akan sia-sia, ketika Tuhan belum memberikan jalanNya. Cinta
sejati itu tidak untuk dicari, namun untuk dirasakan. Ketika hati ini yang
memilih orang untuk mengisi satu ruang didalamnya, cukuplah menjadi jawaban
atas pencarian yang fana itu.
Kehidupan terkadang terasa dimainkan
oleh takdir, dan terasa berat ketika raga harus terus diajak berkompromi untuk
melangkah, sedangkan hati telah lama berhenti pada seseorang. Bukankah jika
hati telah memberi tanda, maka otaklah yang sesekali harus mematuhi apa yang
diisyaratkan oleh hati. Karena cinta bukanlah masalah logika, cinta masalah
rasa. Ibarat lidah yang bisa membedakan antara manis, pedas dan asem di waktu
yang bersamaan.
Setelah lebih dari seperempat abad
usia bumi telah kuhabiskan, barulah sedikit kata cinta dapat kupahami. Hanya
memahaminya terkadang tak cukup untuk dapat bisa merasakan apa yang biasa
disebut Cinta.
Meraih ataupun diraih oleh kata
cinta, ibarat menerima ajakan seseorang untuk berdansa dilantai yang luas, dan
sedang disorot oleh cahaya yang hanya akan memantulkan bayangan antara pasangan
yang sedang dimabuk cinta. Salah melangkah ataupun tidak mampu mengimbangi
irama, merupakan bagian dari adegan dansa yang harus diselesaikan. Setidaknya
aku mengerti sedikit tentang mencintai, lebih tepatnya memahami kata “cinta.”
Sunyi Teman Menyenangkan
Siapapun, pasti langsung dapat
beropini bahwa keberadaanku terkadang tak bisa membawa arti apa-apa bagi
siapapun. Skalipun, itu adalah wanita yang kucintai. Menuntut kesempurnaan,
ingin mengubahku menjadi seperti yang mereka inginkan, bukanlah cara yang cocok
untuk membuatku bisa bertekuk lutut dihadapan siapapun.
Secinta apapun diriku pada wanita
itu, tak mampu mengubahku seperti yang mereka inginkan. Bukankah mencintai
ibarat menuangkan air ke dalam wadah sama banyak, agar air yang ditampung tidak
tumbah atau kurang. Jika rasa sayang itu, seakan memberikan hak lebih untuk
mengatur hidup orang lain, itu bukan cinta. Tetapi, seperti masuk dalam
pendidikan militer yang suka atau tidak, harus dilakukan.
Mungkin aku tipe lelaki yang cukup
keras dan susah untuk dimengerti. Hanya kesunyian malam yang kadang mampu
memberi ruang lebih pada jiwaku yang terkekang. Pekatnya malam bagai pintu
masuk untuk mengetuk jiwaku yang tertidur lelap.
Ya.. aku yang terlahir di keluarga
yang terbilang cukup mampu, bahkan bisa dibilang di atas taraf hidup orang
kabanyakan. Tetapi, apa yang diberikan keluargaku sebenarnya harus dibayar
dengan hidup terpisah dari orang tua. Jadi, kesendirian merupakan hal biasa.
Itulah sebabnya jiwaku tumbuh semaunya, sekenanya dan semampu aku membentuknya.
Tidak ada tekanan bahkan intervensi terhadap apa yang akan aku lakukan.
Semuanya kulakukan sendiri.
Semasa sekolah saja, aku sudah
terbiasa tak bertemu dengan ayah dan ibu. Apalagi, ketika menginjakkan kaki di
perguruan tinggi di kota yang berbeda. Kesempatan bertemu tentunya jauh lebih
berkurang, dibandingkan ketika masih di kota yang sama. Sehingga, akupun harus
memaksakan pribadiku tumbuh dan berkembang secara mandiri dalam hal yang
sesungguhnya, yakni melakukan apapun seorang diri tanpa bantuan siapa-siapa.
Itulah sebabnya, sunyi menjadi teman
dalam keabadian yang mengajarkanku segala hal. Sunyi yang membuatku dewasa,
sunyi memberikan apapun yang kuinginkan. Ketika masalah menerpa, diriku lebih
memilih mencari ruang yang sunyi, serta diam menjadi jawaban atas semuanya.
Jika
ingin memahamiku, maka terdiamlah sejenak disampingku, karena terkadang melalui
diamku, kau (seseorang yang entah saat ini dimana?) bisa memiliki jiwaku
seutuhnya. Jangan hanya menjadi orang yang ingin merampas kebebasanku, tetapi
jadilah wanita yang mampu memelukku meski tanpa jasad. Karena kerinduan
sesungguhnya, hadir dari jiwa yang tertidur.
Mengenal Genta = Belajar Merasakan “Semua
Hal” Menjadi Biasa
Memang tidak ada yang sempurna,
bahkan istimewa ketika mengenalku lebih jauh. Tapi, satu yang bisa saya
janjikan bahwa Anda mungkin saya akan bahagia bersamaku, ketika saling mengerti
dan memahami itu diimplementasikan dalam menjalin hubungan.
Banyak orang bahkan beberapa wanita
yang pernah dekat denganku, selalu mengatakan bahwa “Genta kurang menyenangkan,
bahkan tidak seasyik yang pernah terpikirkan.” Cukup mengelidik memang, tetapi
itu hak setiap orang untuk memberikan penilaiannya terhadap diriku.
Dewi fortuna seakan tidak pernah
merestui setiap hubungan yang berusaha kurajut bersama sang pujaan hati.
Ataukah mungkin aku yang belum siap dengan kata “komitmen.” Apa yang ada dalam pikiran
Anda, ketika seseorang membicarakan tentang komitmen? Hingga saat ini, aku pun
tidak bisa menemukan arti dari kata tersebut.
Ssssst….ssssttttt…..sssssttttttt,
getaran handphone di kantung celana membuatku tersadar ketika sedang asyik
duduk bersama Romi’s and the gank.
“Lagi dimana? Dan sama siapa?”
Tulisan yang terbantul di layar
handphone, membuatku mengerutkan kening seakan berpikir keras untuk menemukan
jawaban yang pantas untuk dibalaskan.
Sssssst……Ssssttttt…….Sssssttttt,
belum sempat dibalas, masuk lagi satu pesan yang bunyinya seakan menghakimi,
itu menurut pikiranku saat itu.
“Jangan pulang terlalu malam ya. Dan
Jangan telat makan!!”
Niat untuk membalas sms seketika
hilang dan lenyap entah kemana, kuputuskan untuk meletakkan handphone di atas
meja. Dan melanjutkan perbincangan yang terputus. Dilema memang, ketika
mencintai dan menjalin hubungan. Terkadang sama rasanya dengan menyerahkan
kedua tangan bukan untuk digenggam, melainkan diborgol dan harus siap melangkah
kemana pun sang wanita itu pergi.
Mungkin hal itu, merupakan salah
satu alasan mengapa hubunganku harus kuakhiri. Meski terkadang, jiwaku tersiksa
oleh bayangnya. Namun, ragaku masih belum siap untuk mengikuti apapun maunya.
Cinta, bukan lagi hal yang istimewa
dan bisa menjadi candu dalam keseharianku. Semuanya menjadi biasa, seperti pagi
yang cerah pasti hangat oleh pelukan sang mentari, atau malam yang dingin akan
tetap dingin meski bulan mencoba tuk merayu dan menampakkan wujudnya dengan
indah.
Job, Jodoh Dan Hobi
Pekerjaan merupakan sesuatu yang
kini menjadi pelarianku tuk sembunyi dari kenyataan hidup. Tetapi, untungnya
pekerjaan yang kujalani adalah hobi yang menimbulkan rasa nyaman dan senang
bersamaan.
Meski, jujur penghasilan yang
didapatkan tidak pernah mencukupi untuk keperluaan pribadiku. Namun, karena
hobi, semuanya kujalani dengan rasa bahagia. Selain pekerjaan yang dapat
memberikan nutrisi pada jiwaku yang gersang, hobi otomotif dan menjadi pelaku
jual beli barang di dunia online, memberikan nafas buatan pada masalah
kantungku tentunya.
Pekerjaan yang ok, membuatku dapat
melupakan masalah jodoh yang terkadang membuat jiwaku gelisah. Gelisah
memikirkan tentang apa dan bagaimana caranya tuk memulai membina rumah tangga
bersama seseorang? Bagaimana masa tua yang kuinginkan? Apakah sanggup aku
menjadi nahkoda dan mengarungi samudera kehidupan bersama seseorang? Bagaimana
ketika anak-anak telah dihadirkan dan melengkapi hidupku?
Cukup sulit memang tuk menemukan
jawabannya. Mungkin satu yang harus dilakukan, jalani dan hadapi. Tuhan pun
melarang umatNya untuk terlalu banyak berpikir dan bertanya akan takdirnya,
bukan? Untungnya aku terlahir dari orang tua yang tidak pernah menambahkan
kesulitan dalam hidupku, dengan menanyakan sesuatu yang berkaitan tentang
“Jodoh.”
Tetapi, semuanya berefek pada
pembentukan karakter yang terkesan diam dan Jaim alias Jaga Image. Padahal,
diam bukan karena suka atau hobi, tetapi diam lebih memberiku kesempatan tuk
mengerti lebih banyak sikap orang-orang yang berada di sekelilingku, meskipun akhirnya
membuat diriku terkesan cuek dan tak acuh.
Pencaharianku akan jodoh, mungkin
masih panjang. Sikapku yang diam juga mungkin sudah menjadi salah satu hal yang
melekat dan sulit tuk dipisahkan. Berharap, ketika suatu saat diriku bertemu
dengan wanita terbaik yang akan menjadi ibu dari anak-anakku, semuanya akan
berubah. Berubah ke arah yang lebih baik tentunya.
Begitulah
Lika Liku Lelaki. Genta adalah salah satu jiwa lelaki yang masih akan terus
berjalan mencari dan berusaha menemukan dirinya pada satu titik yang akan
mengubah kehidupannya. Entah sampai kapan? Mungkin saja besok, mungkin juga
membutuhkan waktu yang tidak cepat? Setidaknya dengan saling bercerita dan
berbagi kisah akan membuat Genta, Anda atau siapapun bisa lebih mengerti arti kehidupan
yang dititipkan pada jiwa yang ditiupkan oleh sang kuasa untuk berdiri dan
berjalan di muka bumi ini.
THE
END